MAKALAH
TUBERCULOSTATIK
, LEPROSTATIK,
DAN
ANTIVIRUS
DISUSUN OLEH:
CRISTHI JUNYATI
MADJENI
ERIK SETIADI
ARAHMAN
IBNU TEGUH
NURKOSIM SUTARSO
RAHAYU INDRAWATI
YUYUN NURFITRI
PROGRAM
STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS
ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS
KADIRI
2014/2015
DAFTAR ISI
DAFTAR
ISI ..............................................................................................
KATA
PENGANTAR ...............................................................................
BAB
I
PENDAHULUAN
.....................................................................................
1. LATAR
BELAKANG ...................................................................
2. RUMUSAN
MASALAH ...............................................................
3. TUJUAN
.........................................................................................
BAB
II
PEMBAHASAN
........................................................................................
I.
TUBERCULOSTATIK ..................................................................
1.1 ISONIAZID.............................................................................
1.2 RIFAMPISIN ..........................................................................
1.3 ETAMBUTOL .........................................................................
1.4 PIRAZINAMID ......................................................................
1.5 STREPTOMISIN ....................................................................
1.6 ASAM PARAMINOSALISILAT ..........................................
1.7 SIKLOSERIN .........................................................................
1.8 ETIONAMID ..........................................................................
1.9 KAPREOMISIN .....................................................................
1.10PENGOBATAN
TUBERCULOSIS ......................................
II.
LEPROSTATIK .............................................................................
2.1 SULFON .................................................................................
2.2 RIFAMPISIN ..........................................................................
2.3 KLOFAZIMIN ........................................................................
2.4 AMITOZON ............................................................................
2.5 OBAT OBAT LAIN ...............................................................
2.6 PENGOBATAN LEPRA ........................................................
III.
ANTIVIRUS ..................................................................................
3.1 ANTINONRETROVIRUS ....................................................
3.1.1ANTIVIRUS UNTUK
HERPES ...........................................
3.1.2ANTIVIRUS UNTUK
INFLUENZA ...................................
3.1.3ANTIVIRUS UNTUK
HBV DAN HCV .............................
3.2 ANTIRETROVIRUS .............................................................
3.2.1 NRTI........................................................................................
3.2.2 NTRTI .....................................................................................
3.2.3 NNRTI ....................................................................................
3.2.4 PI .............................................................................................
3.2.5 VIRAL ENTRY
INHIBITOR ...............................................
3.2.6 PENGGUNAAN KLINIS
ANTIVIRUS ..............................
BAB III
PENUTUP ..................................................................................................
A. KESIMPULAN
..............................................................................
B. SARAN
..........................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA ................................................................................
KATA
PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini berjudul “TUBERCULOSTATIK,
LEPROSTASIK, DAN ANTI VIRUS” Makalah ini diajukan untuk memenuhi
tugas ilmu dasar keperawatan tiga .
Dalam menyelesaikan makalah ini kami
telah mendapatkan bantuan dan bimbingan serta dukungan moril dari berbagai
pihak, oleh sebab itu kami mengucapkan terima kasih.
Kami menyadari sepenuhnya makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan, kaarena itu kritik dan saran yang sifatnya
membangun sangat kami harapkan.
Akhir kata kami mengucapkan terima
kasih.
Kediri,
Mei 2015
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar
belakang
Anti tuberculosis adalah obat – obatan kombinasi obat yang diberikan dalam jangka waktu tertentu untuk mengobati penderita tuberculosis.
Tuberkulosis (TBC atau TB)
adalah suatu penyakit infeksi yang
disebabkan oleh bakteri Micobakterium
tuberculosis, yang pada umumnya dimulai dengan membentuk benjolan-benjolan kecil di paru-paru dan ditularkan lewat organ pernapasan. Kuman TBC pertama kali di temukan oleh dr. Robert
Koch (1982). Bakteri ini merupakan bakteri
basil yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih sering menginfeksi organ paru-paru dibandingkan bagian lain
tubuh manusia.Bagian
tubuh manusia selain paru paru yang dapat terinfeksi Micobakterium tuberculosis ialah ginjal, tulang dan usus.
Konon
kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh peradaban
Tiongkok Kuna, Mesir Kuna, dan India. Pada 1995, Organisasi Kesehatan Dunia (
WHO ) memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen
karena kusta. Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat
dirasakan kurang perlu dan tidak etis beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan
diberbagai belahan dunia, seperti di India dan Vietnam.
Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akhir 1940-an dengan diperkenalkan dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar. Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal 1980-an dan penyakit ini pun mampu ditangani kembali.
Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akhir 1940-an dengan diperkenalkan dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar. Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal 1980-an dan penyakit ini pun mampu ditangani kembali.
Selama bertahun-tahun mendapatkan tangapan bahwa
sangatlah sulit untuk mendapatkan kemotrapi antivirus dengan sektifitas yang tinggi.
Siklus replikasi virus yang dianggap sangatlah mirip dengan metabolisme normal manusia
menyebabkan sebuah usaha untuk menekan reproduksi virus juga dapat membahayakan
sel terinfeksi. Bersamaan dengan perkembangannya ilmu pengetahuan dan
pengertian yang lebih dalam melalui tahap-tahap spesifik dalam replikasi virus
sebagai kemotrapi anti virus, semakin jelasbahwa kemotrapi antivirus dapat
dicapai dan reproduksi virus dapat ditekan dengan efek yang minimal pada sel
hospes.
Siklus replikasi ini secara garis besar dapat di bagi menjadi 10 langkah: Adsorpsi virus ke sel, penetrasi
virus ke sel, transkripsi tahap awal, translasi
tahap awal, replikasi genom virus,
transskripsi terhadap akhir, assembly virus, dan pengelepasan virus. HIV juga
mengelami tahap-tahap diatas dengan beberapa modefikasi yaitu pada tahap ke-4
yang diganti dengan tahap ke-5 dan di ganti dengan integrasi dan tahap akhir
terjadi berproses dan disebut bunding dan diikuti dengan maturasi virus. Semua
tahap ini dapat menjadi target inveksi kemotrapi.
2. Rumusan
masalah
(1) Apa
saja obat obat tuberculosis?
(2) Bagaimana
farmakokinetik, indikasi, efek samping, dosis dan sediaan obat tuberculostatik?
(3) Apa
saja obat obat lepra?
(4) Bagaimana
farmakokinetik, indikasi, efek samping, dosis dan sediaan obat leprostatik?
(5) Apa
saja obat anti virus?
(6) Bagaimana
farmakokinetik, indikasi, efek samping, dosis dan sediaan obat anti virus?
3. Tujuan
1) Untuk
memenuhi tugas farmakologi.
2) Untuk
mengetahui macam macam obat tuberculosis, farmakokinetik obat, efek samping
obat, dan indikasi obat.
3) Untuk
mengetahui obat obat lepra, farmakokinetik obat, efek samping obat, dan
indikasi obat.
4) Untuk
mengetahui obat obat anti virus, farmakokinetik obat, efek samping obat,
indikasi obat.
BAB
II
PEMBAHASAN
I.
Tuberkulostatik
Obat
yang digunakan untuk tuberkulosis digolongkan atas dua kelompok yaitu kelompok
obat lini-pertama dan obat lini-kedua.
Kelompok
obat lini pertama, yaitu isoniazid, rifampisin, etambutol, streptomisin, dan
pirazinamid, memperlihatkan efektivitas yang tinggi dengan toksisitas yang
dapat diterima. Toksik itu sendiri adalah keracunan. Sebagian besar pasien
dapat disembuhkan dengan obat obat ini. Walaupun demikian, kadang terpaksa
digunakan obat lain yang kurang efektif karena pertimbangan resistensi atau
kontra indikasi pada pasien. Resistensi adalah bila pertumbuhan bakteri tidak
dapat dihambat oleh antibiotik pada kadar maksimal yang dapat di tolerir host.
Anti
tuberkulosis lini-kedua adalah anti biotik golongan fluorokuinolon
(siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin), sikloserin, etionamid, amikasin,
kanamisin, kapreomisin, dan paraminosalisilat.
1.1
Isoniazid
Isoniazid atau isonikotinil hidrazid
yang sering disingkat dengan INH, hanya satu derivatnya yang diketahui dapat
menghambat kuman tuberkulosis, yakni iproniazid tetapi dalam penggunaannya obat
ini terlalu toksik untuk manusia.
1.1.1
Efek antibakteri
Isoniazid secara in vitro bersifat
tuberkulostatik dan tuberkulosid dengan kadar hambat minimum sekitar
. Pembelahan kuman masih berlangsung 2 sampai 3
kali sebelum dihambat sama sekali. Efek bakterisidnya hanya terlihat pada kuman
yang sedang tumbuh aktif. Mikroorganisme yang sedang istirahat mulai lagi
dengan pembelahan biasa bila kontaknya dengan obat dihentikan. Diantara mikro
bakteria atipik biasanya hanya M. Kansasi yang peka terhadap isoniazid, tetapi
sensitivitasnya harus selalu diuji secara in-vitro karena kuman ini memerlukan kadar
hambat yang lebih tinggi.
1.1.2 Mekanisme
kerja
Mekanisme
kerja isoniazid belum diketahui, tetapi ada beberapa hipotesis yang diajukan,
diantaranya efek pada lemak, bio-sistesis asam nukleat, dan glikolisis. Ada
pendapat bahwa efek utamanya ialah menghambat biosintesis asam mikolat yang
merupakan unsur penting dinding sel mikobakterium. Isoniazid kadar rendah
mencegah perpanjangan rantai asam lemak yang sangat panjang yang merupakan
bentuk awal molekul asam mikolat. Isoniazid
menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yang
terekstraksi oleh methanol dari mikobakterium. Hanya kuman peka yang menyerap
obat ke dalam selnya, dan ambilan ini merupakan proses aktif.
1.1.3 Resistensi
Petunjuk
yang ada memberikan kesan bahwa mekanisme terjadinya resistensi berhubungan
dengan kegagalan obat mencapai kuman atau kuman tidak menyerap obat. Penggunaan
INH juga dapat menyebabkan timbulnya strain baru yang resisten. Perubahan sifat
dari sensitif menjadi resisten biasanya terjadi dalam beberapa minggu setelah
pengobatan dimulai. Waktu yang diperlukan untuk timbulnya resistensi berbeda
pada kasus yang berlainan.
1.1.4 Farmakokinetik
Isoniazid mudah diabsorbsi pada
pemberian oral maupun parenteral. Kadar puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah
pemberian oral. Di hati, isoniazid terutama mengalami asetilasi dan pada
manusia kecepatan metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik yang secara
bermakna mempengaruhi kadar obatdalam plasma dan masa paruh. Masa paruh obat
ini dapat memanjang bila terjadi insufisiensi hati. Perlu ditekankan bahwa
asetilasi tidak berpengaruh pada efektivitas dan toksisitas isoniazid bila obat
ini diberikan setiap hari. Tetapi, bila pasien tergolong asetilator cepat dan
mendapat isoniazid semingggu sekali maka penyembuhannya mungkin kurang baik.
Asetilator cepat didapatkan pada orang ekskimo, jepang, sedangkan asetilator
lambat terdapat pada orang skandavia, yahudi dan orang kaukasia afrika utara.
Isoniazid mudah berdifusi kedalam sel
dan cairan tubuh. Obat terdapat dalam kadar yang cukup di dalam cairan pleura,
dan cairan asites. Kadar dalam cairan serebrospinal pada radang slaput otak
kira kira sama dengan kadar dalam cairan plasma. Isoniazid mudah mencapai material
kaseosa. Kadar obat ini pada mulanya lebih tinggi dalam plasma dan otot
daripada dalam jaringan yang terinfeksi tetapi kemudian obat tertinggal lama di
jaringan yang terinfeksi dalam jumlah yang lebih dari cukup sebagai
bakteriostatik.
Antara 75-95% isoniazid di ekskresikan
melalui urin dalam waktu 24 jam dan hampir seluruhnya dalam bentuk metabolit.
Ekskresi terutama dalam bentuk asetil isoniazid yang merupakan metabolit proses
asetilasi, dan asam isonikotinat yang merupakan metabolit proses hidrolisis.
Sejumlah kecil diekskresi dalam bentuk isonikotinil glisin dan isonikotil
hidrazon, dan dalam jumlah yang kecil sekali N-metil isoniazid.
1.1.5
Efek samping
reaksi hipersensivitas mengakibatkan
demam, berbagai kelainan kulit berbentuk morbilifor, makulopapuler, dan
urtikaria. Reaksi hematologik dapat juga terjadi seperti agranulusitosis,
eosinofila, trombositopenia, dan anemia.
Vaskulitas yang berhubungan dengan antibodi antinuklear dapat terjadi
selama pengobatan, tetapi menghilang apabila obat dihentikan. Gejala arthritis
juga dapat terjadi seperti sakit pinggang; Sakit sendi interfalang proksimal
bilateral; atralgia pada lutut, siku dan pergelangan tangan.
Neuritis perifer paling banyak terjadi
dengan dosis isoniaz 5 mg/kgBB/hari Bila pasien tidak diberikan pirodikson
frekuensinya mendekati 2%. Bila diberikan dosis lebih tinggi, pada sekitar 10%
sampai 20% pasien dapat terjadi neuritis perifer. Profilaksis dengan pemberian
pirodiksin mencegah terjadinya neuritis perifer dan juga berbagai gangguan sistem
saraf yang mungkin terjadi termasuk akibat pengobatan yang berjangka sampai 2
tahun.
Perubahan neuropatologik yang
berhubungan dengan efek sampingg antara lain menghilangnya vesikel sinaps,
membengkaknya mitokondria dan pecahnya akson terminal. Biasanya juga terjadi
perubahan pada ganglia didaerah lumbal dan sakrum. Pemberian pirodiksin sangat
bermanfaat untuk mencegah perubahan tersebut. Pada pemberian isoniazid,
ekskresi pirodiksin meningkat dan konsentrasinya dalam plasma menurun sehingga
memberi gambaran seperti defisiensi pirodiksin neuropati lebih sering terjadi
pada pasien asetilator lambat, pasien DM, nutrisi buruk atau anemia.
Isoniazid dapat mencetuskan terjadinya
kejang pada pasien dengan riwayat kejang. Neuritis optik dengan artopi dapat juga
terjadi. Gambaran lain neurorotoksia ialah kedut otot vertilago, ataksia, parestasia,
stupor dan ensafalopatik toksik yang berakhir fatal. Kelainan mental dapat juga terjadi selama
menggunakan obat ini diantaranya euphoria, kurangnya daya ingat sementara,
hilangnya pengendalian diri, dan psikosis. Sedasi yang berlebihan dapat muncul bila
isoniazid diberikan bersama fenitoin karena isoniazid menghambat
parahidroksilasi antikonvulsan tersebut. Efek samping ini terutama terjadi pada
pasien asetilator lambat, sehingga perlu dilakukan monitor kadar fenitoin dalam
darah dan kemudian dilakukan penyesuaian dosis bila diperlukan. Dosis INH tidak
boleh diubah.
Isoniazid dapat menimbulkan ikterus dan
kerusakan hati yang fatal akibat terjadinya nekrosis multiholur. Penggunaan
obat ini pada pasien yang menunjukan adanya kelainan funngsi hati menyebabkan
bertambah parahnya kerusakan hati.
Efek samping lain yang terjadi ialah mulut
terasa kering, rasa tertekan pada ulu hati, methernoglobinemia, tinitus, dan
retensi urin. Bila pasien sebelumnya telah mempunyai predisposisi defisiensi
piridoksin, pemberian INH dapat menimbulkan anemia. Pengobatan dengan vitamin B6
dosis besar akan menyebabkan gambaran darah normal kembali.
Dosis isoniazid yang berlebih misalnya
karena usaha bunuh diri menyebabkan koma, kejang-kejang, asidosis metabolik,
dan hiperglikemi. Piridoksin digunakan sebagai antidtnya dengan dosis sesuai
dengan besarnya dosis INH yang ditelan.
1.1.6
Status dalam pengobatan
Isoniazid merupakan obat yang sangat
penting untuk mengobati semua tipe tuberkulosis. Efek samping dapat dicegah
dengan pemberian pirodiksin dan pengawasan cermat pada pasien. Untuk tujuan
terapi, obat ini harus digunakan bersama obat lain. Untuk tujuan pencegahan
dapat diberikan tunggal.
1.1.7
Sediaan dan posologi
Isoniazid terdapat dalam bentuk tablet
50,100,300, dan 400 mg serta sirup 10 mg/mL. Dalam tablet kadang-kadang telah
ditambahkan vitamin B6. Isoniazid biasanya diberikan dalam dosis
tunggal per orang tiap hari. Dosis biasanya 5 mg/kgBB, maksimum 300 mg/hari.
Untuk tuberkulosis berat dapat diberikan 10 mg/kgBB, maksimum 600 mg/hari,
tetapi tidak ada bukti bahwa dosis demikian besar ini lebih efektif. Anak
dibawah 4 tahun dosisnya 10 mg/kgBB/hari. Isoniazid juga dapat diberikan
intermiten 2 kali seminggu dengan dosis 5 mg/kgBB/hari. Pirodiksin diberkan
dalam dosis 10 mg/hari.
1.2 Rifampisin
Rifampisin
adalah derivat semisintetik nifamisin B yaitu salah satu anggota kelompok
antibiotik makrosiklik yang disebut rifamisin. Kelompok zat ini dihasilkan oleh
streptomyces mediterannei. Obat ini merupakan ion zwittler, larut dalam pelarut
organik dan air yang Ph nya asam. Derivat rifamisin lainnya ialah rifabutin dan
rifapentin.
1.2.1 Aktivitas antibakteria
Rifampisin menghambat pertumbuhan
berbagai kuman gram positif mmaupun gram negatif. Terhadap kuman gram positif
kerjanya tidak sekuat penisilin G, tetapi sedikit lebih kuat dari eritomisin
dan sefalotin. Terhadap kuman gram negatif kerjanya lebih lemah dari
tetrasiklin, kloramfenikol, kanamisin, dan sefalotin. Antibiotik ini sangat
aktif terhadap N. meningitides; kadar hambat minimalnya berkisar antara 0,1-0,8
mg/mL. Obat ini dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis virus.
In vitro, rifampisin dalam kadar
0,995-0,2 mg/mL dapat menghambat pertumbuhan M. tuberculosis. Diantara
mikobakteria atipik, M. kansasi dihambat pertumbuhannya dengan kadar 0,25-1 mg/mL.
Sebagian besar turunan M. serofuloceum dan M. intraseluler dihambat dengan
kadar mg/mL, tetapi beberapa jalur baru
dihambat bila kadar melebihi 16 mg/mL. M. fortuitum sangat resisten terhadap
obat ini. In vitro, rifampisin meningkatkan aktivitas streptomisin dan
isoniazid terhadap M. tuberculosis, tetapi tidak bersifat adiktif terhadap
etambutol.
1.2.2 Mekanisme kerja
Rifampisin terutama aktif terhadap sel
yang sedang bertumbuh. Kerjanya menghambat DNA-dependent RNA polymerase dari
mikobakteria dan mikroorganisme lain dengan menekan mula terbentuknya (bukan
pemanjangan) rantai dalam sintesis RNA. Inti RNA polymerase dari berbagai sel
eukariotik tidak mengikat rifampisin dan sintesis RNAnya tidak dipengaruhi.
Rifampisin dapat menghaambat sintesis RNA mitokondria mamalia tetapi diperlukan
kadar yang lebih tinggi dari kadar untuk penghambatan pada kuman.
1.2.3 Farmakokinetik
Pemberian
rifampisin peroral menghasilkan kadar puncak dalam plasma setelah 2-4 jam,
dosis tunggal sebesar 600 mg menghasilkan kadar sekitar 7 mg/ml. Asam para
amino salisilat dapat memperlambat absorpsi rifampisin, sehingga kadar terapi
rifampisin dalam plasma tidak tercapai. Bila rifampisin harus digunakan bersama
para amino salisilat maka pemberian keduanya harus berjarak waktu 8-12 jam.
Setelah diserap dari saluran cerna, obat
ini cepat diekskresi melalui empedu dan kemudian mengalami sirkulasi
enterophatik. Penyerapannya dihambat oleh adanya makanan, sehingga dalam waktu
6 jam hampir semua obat yang berada dalam empedu berbentuk deasetil rifampisin
yang menyebabkan induksi metabolisme, sehingga walaupun bioavailibitasnya
tinggi, eliminasinya meningkat pada pemberian berulang. Masa paruh eliminasi
rifampisin bervariasi antara 1,5 sampai 5 jam dan akan memanjang bila ada
kelainan fungsi hepar. Pada pemberian berulang masa paruh ini memendek sampai
kira kira 40% dalam waktu 14 hari. Pada pasien asetilator lambat masa paruh
memendek bila rifampisin diberikan bersama isoniazid. Sekitar 75% rifampisin
terikat pada protein plasma. Obat ini berdifusi baik keberbagai jaringan
termasuk ke cairan otak. Luasnya distribusi ini tercermin dari warna merah pada
urin, tinja, sputum, airmata, dan keringat pasien. Ekskresi melalui urin
mencapai 30%, setengah merupakan rifampisin utuh sehingga pasien gangguan
fungsi ginjal tidak memerlukan penyesuaian dosis. Obat ini juga dieliminasi
lewat ASI.
Rifampisin didistribusi keseluruh tubuh.
Kadar efektif dicapai dalam berbagai organ dan cairan tubuh, termasuk cairan
otak. Luasnya distribusi rifampisin tercermin dengan warna merah jingga pada
urin, tinja, ludah, sputum, air mata dan keringat. Pasien harus tahu akan hal
pewarnaan ini.
1.2.4 Efek samping
Rifampisin
jarang menimbulkan efek samping. Dengan dosis biasa, kurang dari 4% pasien
tuberculosis mengalami efek toksis. Yang paling sering adalah ruam kulit,
demam, mual dan muntah. Pada pemberian
berselang dengan dosis besar sering terjadi flu like syndrome, nefritis
intertisial, nekrosis tubular akut, dan trombositopenia.
Berbagai keluhan yang berhubungan dengan
sistem saraf seperti rasa lelah, mengantuk, sakit kepala, pening, ataksia,
bingung, sukar berkonsentrasi, sakit pada tangan dan kaki, dan melemahnya otot
dapat juga terjadi.
Reaksi hipersensitivitas dapat berupa
demam, pruritus, urtikaria, berbagai macam kelainan kulit, eosinofilia, dan
rasa sakit pada mulut dan lidah. Hemolisis, hemoglobulina, hematuria,
insufisiensi ginjal dan gagal ginjal akut juga merupakan reaksi
hipersensitivitas, tetapi jarang terjadi.
Trombositopenia, leukopenia sementara,
dan anemia dapat terjadi selama terapi berlangsung. Efek teratogenik rifampisin
tidak diketahui, tetapi lebih baik menghindari penggunaan obat ini semasa
kehamilan, karena obat ini dapat menembus sawar uri.
1.2.5 Interaksi obat
Pemberian PAS bersama rifampisin akan
menghambat absorbsi rifampisin sehingga kadarnya didalam darah tidak cukup.
Rifampisin merupakan pemacu metabolisme obat yang cukup kuat, sehingga berbagai
obat hplogekemik oral, kortikosteroid, dan kontrasepsi oral akan berkurang
efektivitasnya bila diberikan bersama rifampisin.
1.2.6
Status dalam pengobatan
Rifampisin merupakan obat yang sangat
efektif untuk pengobatan tuberculosis dan sering digunakan bersama isoniazid
untuk terapi tuberkulosis jangka pendek. Efek sampingnya beraneka ragam, tetapi
jangan sampai menghentikan terapi.
1.2.7 Sedian dan posologi
Rifampisin diindonesia terdapat dalam
bentuk kapsul 150mg dan 300 mg. Selain itu, terdapat pula tablet 450mg dan 600
mg serta suspensi yang mengandung 100mg/5mL rifampisin. Beberapa sediaan telah
dikombinasi dengan isoniazid. Obat ini biasanya diberikan sehari sekali
sebaiknya satu jam sebelum makan dan dua jam sesudah makan. Dosis untuk orang
dewasa dengan berat badan kurang dari 50 kg ialah 450 mg/hari dan berat badan
lebih dari 50 kg ialah 60 mg/hari. Untuk
anak anak doasisnya 10-20 mg.kg/BB perhari dengan dengan dosis maksimum 600
mg/hri.
1.3 Etambutol
1.3.1 Aktivitas antibakteri
Hampir semua galur M. tuberculosis dan
M. kansasi sensitif terhadap etambutol. Etambutol tidak efektif untuk kuman
lain. Obat ini tetap menekan pertumbuhan kuman tuberkulosis yang telah resisten
terhadap isoniazid dan streptomisin. Kerjanya menghambat sintesis metabolit sel
sehingga metabolisme sel terhambat dan sel mati. Karena itu obat ini hanya
aktif terhadap sel yang bertubuh dengan khasiat tuberkulostik.
1.3.2 Farmakokinetik
Pada pemberian oral sekitar 75-80% etambutol
diserap dari saluran cerna. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu
2-4jam setelah pemberian. Dosis tunggal 15 mg/kgBB menghasilkan kadar dalam
plasma sekitar 5 mg/mL pada 2-4jam. Masa paruh eliminasinya 3-4jam. Kadar
etambutol dalam eritrosit 1-2 kali kadar
dalam plasma. Oleh karena itu eritrosit dapat berperan sebagai depot
etambutol yang kemudian melepaskannya sedikit demi sedikit kedalam plasma.
Dalam waktu 24 jam, 50% etambutol yang
diberikan diekskresikan dalam bentuk asal melalui urin, 10% sebagai metabolit,
berupa derivat aldehid dan asam karboksilat. Kliren ginjal untuk etambutol kira kira 8,6 ml/menit/kg
menandakan bahwa obat ini selain mengalami filtrasi glomerulus juga disekresi
melalui tubuli. Etambutol tidak dapat menembus sawar darah otak, tetapi pada
meningitis tuberkulosa dapat ditemukan kadar terapi dalam cairan otak.
1.3.3 Efek samping
Etambutol jarang menimbulkan efek
samping. Dosis harian sebesar 15mg/kgBB menimbulkan efek toksik yang minimal.
Pada dosis ini kurang dari 2% pasien akan mengalami efek samping yaitu
penurunan ketajaman pengelihatan, ruam kulit, dan demam. Egek samping lain
ialah pruritus, nyeri sendi, gangguan saluran cerna, malaise, sakit kepala,
pening, bingung, disorientasi, dan mungkin juga halusinasi. Rasa kaku dan
kesemutan dijari sering terjadi. Reaksi anafilaksis dan leukopenia jarang
dijumpai.
Efek samping yang paling penting adalah
gangguan pengelihatan, biasanya bilateral, yang merupakan neuritis retlobulbar
yaitu berupa turunya ketajaman pengelihatan, hilangnya kemampuan membedakan
warna, mengecilnya lapang pandangan, dan skotoma sentral maupun lateral.
Insiden efek samping ini makin tinggi sesuai dengan peningkatan dosis, tetapi
bersifat mampu pulih. Intensitas gangguanpun berhubungan dengan lamanya terapi.
Dengan dosis 15 mg/kgBB tidak diperlukan pemeriksaan oftalmologi berkala,
tetapi pasien harus diingatkan untuk melaporkan setiap perubahan pengelihatan
selama penggunaan etambutol. Bila ada keluhan pengelihatan kabur, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan lengkap. Bila pasien sudah menderita kelainan mata
sebelum menggunakan etambutol perlu dilakukan pemeriksaan cermat sebelum terapi
dengan etambutol dimulai.
Terapi etambutol menyebabkan peningkatan
kadar asam urat darah pada 50% pasien. Hal ini disebabkan oleh penurunan ekskresi asam urat melalui ginjal. Efek samping ini mungkin
diperkuat oleh isoniazid dan piridoksin.
1.3.4 Status dalam pengobatan
Etambutol telah berhasil digunakan dalam
pengobatan tuberkulosis dan menggantikan tempat asam para amino salisilat
karena tidak menimbulkan efek samping yang berbahaya serta dapat diterima dalam
terapi. Manfaatnya yang utama dalam paduan terapi tuberkulosis ialah mencegah
timbulnya resistensi kuman terhadap anti tuber kulosis lain.
1.3.5 Sediaan dan posologi
Diindonesia etambutol terdapat dalam
bentuk tablet 250mg dan 500 mg, ada pula sediaan yang telah dicampur dengan
isoniazid dalam bentuk kombinasi tetap. Dosis biasanya 15 mg/kgBB, diberikan
sekali sehari, ada pula yang menggunakan dosis 25 mg/kgBB selama 60 hari
pertama, kemudian diturunkan menjadi 15 mg/kgBB, pada pasien gangguan fungsi
ginjal dosisnya perlu disesuaikan karena etambutol terakumulasi dalam badan.
1.4 Pirazinamid
Pirazinamid adalah analog nikotinamid
yang telah dibuat sintetiknya. Obat ini tidak larut dalam air.
1.4.1 Aktivitas antibakteri
Pirazinamid didalam tubuh dihidrolisis
oleh enzim pirazinamidase menjadi asam pirazinoat yang aktif sebagai
tuberkulostatik hanya pada media yang bersifat asam. In vitro, pertumbuhan
kuman tuberkulosis dalam monosit dihambat sempurna pada kadar pinazinamid
12,5mg/mL. Mekanisme kerja obat ini belum diketahui.
1.4.2 Farmakokinetik
Pirazinamid mudah diserap di usus dan
tersebar luas ke seluruh tubuh. Dosis 1 gram menghasilkan kadar plasma sekitar 45mg/mL
pada dua jam setelah pemberian obat. Ekskresinya terutama melalui filtrasi
glomerulus. Asam pirozinoat yang aktif kemudian mengalami hidroksilasi menjadi
asam hidropirozinoat yang merupakan metabolit utama. Masa paruh eliminasi obat
ini adalah 10-16 jam.
1.4.3 Efek samping
Efek samping yang palinng umum dan
serius adalah kelainan hati. Bila pirazinamid diberikan dengan dosis 3 g per
hari, gejala penyakit hati muncul pada kira kira 15%, dengan ikterus pada 2-3%
pasien dan kematian akibat nekrosis hati pada beberapa kasus. Gejala pertama
adalah peninngkatan SGOT dan SGPT. Oleh karena itu hendaknya dilakukan
pemeriksaan fungsi hati sebelum pengobatan dengan pirazinamid dimulai, dan
pemantauan terhadap transminase serum dilakukan secara berkala selama pengobatan
berlangsung. Jika jelas timbul kerusakan hati, zinamid tidak boleh diberikan
kepada pasien dengan kelainan fungsi hati. Obat ini menghambat ekskresi asam
urat dan dapat menyebabkan kambuhnya pirai. Efek samping lain ialah artalgia,
anoreksia, mual dan muntah, juga disuria, malaise, dan demam.
1.4.4 Sediaan dan posologi
Pirazinamid terdapat dalam bentuk tablet
250mg dan 500mg. Dosis oral ialah 20-35 mg/kgBB sehari (maksimum 3 g),
diberikan dalam satu atau beberapa perhari.
1.4.5 Status dalam pengobatan
Pirazinamid beberapa tahun yang lalu
masih merupakan obat sekuknder yang digunakan bila ada resistensi atau
kontraindikasi terhadap obat primer. Sejak pengobatan tuberkulosis menggunakan
paduan pengobatan jangka pendek, kedudukan pirazinamid berubah menjadi obat
primer, obat ini lebih aktif pada suasana asam dan merupakan bakterisid yang
kuat untuk bakteri tahan asam yang berada dalam sel makrofag. Kini, bersama INH
dan rifampisid, pirazinamid merupakan obat yang penting untuk diberikan pada
awal pengobatan tuberkulosis.
1.5 Streptomisin
Streptomisin ialah antituberkulosis yang
pertama yang secara klinik dinilai efektif. Namun sebagai obat tunggal, bukan
obat yang ideal.
1.5.1 Aktivitas antibakteri
Streptomisin in vitro bersifat
bakteriostatik dan bakterisid terhadap kuman tuberkulosis. Kadar serendah 0,4
mg/ml dapat menghambat pertumbuhan kuman. Sebagian besar M. tuberculosis strain
human dan bovin dihambat dengan kadar 10mg/ml. Mikobakterium atipik foto
kromatogen, skotokromatogen, nokromatogen, dan spesies yang tumbuh cepat tidak
peka terhadap streptomisin. Adanya mikroorganisme yang hidup dalam asbes atau
kelenjar limfe regional serta hilangnya pengaruh obat setelah beberapa bulan
pengobatan, mendukung konsep bahwa kerja streptomisin in vivo ialah supresi,
bukan eredikasi kuman tuberkulosis. Obat ini dapat mencapai kavitas, tetapi
relatif sukar berdifusi ke cairan intrasel.
1.5.2 Resistensi
Dalam populasi yang besar selalu
terdapat kuman yang resisten terhadap streptomisin. Resistensi ini mungkin
disebabkan oleh mutasi yang terjadi secara kebetulan. Kemungkinan terjadi
resistensi in vitro dan in vivo sama besar. Secara umum dikatakan bahwa makin
lama trapi streptomisin berlangsung, makin meningkat resistensinya. Pada
beberapa pasien resistensi ini terjadi dalam satu bulan. Setelah 4 bulan, 80%
kuman tuberkulosis tidak sensitif lagi. Setengahnya tidak dapat dihambatdengan
kadar 1000mg/ml. Bila kavitas tidak menutup atau spuktum tidak menjadi steril
dalam 2-3 bulan, bakteri yang tertinggal telah resisten dan pengobatan tidak
efektif lagi. Penggunaan streptomisin bersama antituberkulosis lain menghambat
terjadinya resistensi. Tetapi hal ini tidak mutlak, pada pengobatan jangka lama
dapat juga terjadi resistensi kuman terhadap kedua obat itu.
1.5.3 Farmakokinetik
Setelah di serap, hampir semua
streptomisin berada dalam plasma. Hanya sedikit sekali yang masuk dalam
eritrosit. Streptomisin kemudian menyebar hampir keseluruh cairan ekstra sel.
Kira kira sepertiga streptomisin yang berada dalam plasma, terikat protein
plasma. Streptomisin dieksresi melalui filtrat glomerulus. Kira kira 50-60%
dosis streptomisin yang diberikan secara parental diekskresi dalam bentuk utuh
dalam waktu 24 jam pertama. Sebagian besar jumlah ini dieksresi dalam waktu 12
jam. Masa paruh obat ini dalam orang dewasa normal antara 2-3 jam, dan dapat
sangat memanjang pada gagal ginjal. Otottoksisitas lebih sering terjadi pada
pasien yang fungsi ginjalnya terganggu.
1.5.4 Efek samping
Umumnya streptomisin dapat diterima
dengan baik. Kadang kadang terjadi sakit kepala sebentar atau malaise.
Parestesi dimuka terutama disekitar mulut serta rasa kesemutan ditangan tidak
mempunyai arti klinisi yang penting. Reaksi hipersensitivitas biasanya terjadi
di minggu pertama pengobatan. Streptomisin bersifat neurotoksin pada saraf
kranial ke VIII, bila diberikan dalam dosis besar dan dalam jangka waktu yang
lama. Walaupun demikian beberapa pasien yang baru mendapat dosis total 10-12
gram dapat mengalami gangguan tersebut. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
audiometrik basal dan berkala pada mereka yang mendapat streptomisin. Seperti
aminoglikosida lainnya obat ini juga bersifat nefrotoksik. Ototoksisitas dan
nefrotoksisitas ini sangat tinggi kejadiannya pada kelompok usia 65 tahun
keatas. Oleh karena itu obat ini tidak boleh diberikan pada kelompok usia
tersebut. Efek samping lain ialah reaksi anafilaktik, agranulositosis, anemia
aplastik, dan demam obat. Belum ada data tentang efek teratogenik, tetapi pemberian
obat pada trimester pertama tidak dianjurkan. Selain itu dosis total tidak
boleh melebihi 20 gram dalam 5 bulan terakhir kehamilan untuk mencegah ketulian
bayi.
1.5.5 Interaksi obat
Interaksi dapat terjadi dengan obat
penghambat neuromuskuler berupa potensial penghambat. Selain itu interaksi juga
terjadi dengan obat lain yang juga bersifat ototoksik (misalnya asal etakrinat
dan furosemid) dan yang bersifat nefrotoksik.
1.5.6 Sediaan dan posologi
Streptomisin terdapat dalam bentuk bubuk
injeksi dalam vial 1 dan 5 gram. Dosisnya 20mg/kgBB secara IM, maksimum 1
gram/hari selama 2 sampai 3 minggu . Kemudian frekuensi pemberian dikurangi
menjadi 2-3 kali seminggu. Pasien dengan fungsi ginjal normal dapat menerima
paduan ini untuk beberapa bulan. Dosis harus dikurangi untuk pasien usia
lanjut, anak anak, orang dewasa yang
badannya kecil, dan asien dengan gangguan fungsi ginjal.
1.6
Asam paraaminosalisilat
Sebelum di temukan etambutol, PAS
merupakan obat yang sering
dikombinasikan dengan antituberkulosis. \
1.6.1
Aktivitas antibakteri
Obat ini bersifat bakteriostatik. In
vitro sebagian besar strain M. tuberculosis sensitif terhadap PAS dengan kadar
1 mg/ml. Aktivitas antimikroba PAS sangat spesifik terhadap M. tuberculosis
saja. Sebagian mikobakterium antipik tidak dihambat oleh obat tersebut.
Efektivitas obat ini kurang bila dibandingkan dengan streptomisin, isoniazid,
dan rifampisin. Pengobatan dengan PAS saja manfaatnya sangat kecil.
1.6.2 Mekanisme kerja
PAS mempunyai rumus molekul yang mirip
dengan asam para aminobenzoat (PABA). Mekanisme kerjanya sangat mirip dengan
sulfonamide. Karena sulfonamide tidak aktif terhaadap tuberculosis dan PAS
tidak efektif terhadap kuman yang sensitif terhadap sulfonamide, maka ada
kemungkinan bahwa enzim yang bertanggung jawab untuk biosintesis folat pada
berbagai macam mikroba bersifat spesifik.
1.6.3
Resistensi
Secara umum resistensi
in vitro terhadap PAS lebih sukar terjadi dibandingkan streptomisin. Resistensi
terhadap PAS juga terjadi pada pasien yang sedang dalam pengobatan, walaupun
terjadinya lebih lambat ketimbang streptomisin.
1.6.4 Farmakokinetik
PAS mudah diserrap melalui saluran
cerna. Obat ini mencapai kadar tinggi dalam berbagai cairan tubuh kecuali dalam
cairan otak. Masa paruh obat sekitar satu jam. 80% PAS dieksresi melalui
ginjal, 50% diantaranya dalam bentuk terasetilasi. Pasien dengan infusiensi
ginjal tidak dianjurkan menggunakan PAS karena ekskresinya terganggu.
1.6.5 Efek samping
Insidens efek samping pada pemberian PAS
hampir mencapai 10%, gejala yang agak menonjol ialah mual dan gangguan saluran
cerna lainnya. Pasien tukak peptik tidak dianjurkan menggunakan obat ini.
Reaksi hipersensitivitas umumnya terjadi dengan gambaran seperti demam,
kelainan kulit yang disertai demam ataupun sakit sendi. Kelainan darah seperti
leukoponia, agranulositopenia, eosinofilia, limfositosis, sindrom mononukleosis
atipik, dan trombositopenia pernah
dilaporkan.
1.6.6 Sediaan dan posologi
PAS terdapat dalam bentuk tablet 500 mg
yang diberikan dengan dosis oral 8-12 g sehari, dibagi dalam beberapa dosis.
1.7 Sikloserin
1.7.1 Aktivitas antibakteri
In vitro, sikloserin menghambat
pertumbuhan M. tuerculosis pada kadar 5-20 mg/ml. Melalui penghambatan sintesis
dinding sel. Jenis jenis yang sudah resisten terhadap streptomisin, PAS, INH,
pirazinamid dan viomisin mungkin masih sensitif terhadap sikloserin.
1.7.2 Farmakokinetik
Setelah pemberian oral absorpsinya baik.
Kadar puncak dalam darah dicapai 4-8 jam setelah pemberian obat. Dengan dosis
20 mg/kbBB diperoleh kadar dalam darah sebesar 20-35 mg/ml pada anak anak.
Dengan dosis 750 mg tiap 6 jam pada orang dewasa akan diperoleh kadar lebih
dari 50 mg/ml.
Distribusi dan difusi ke seluruh cairan
dan jaringan tubuh baik sekali. Sawar darah otak dapat dilintasi dengan baik.
Karena obat ini terkonsentrasi di urin, tidak diperlukan dosis besar untuk
mengobati tuberculosis saluran kemih.
Ekskresi maksimal tercapai dalam 2-6 jam
setelah pemberian obat dan 50% diekskresikan melalui urin dalam bentuk utuh
selama 12 jam pertama. Bila ada insufisiensi ginjal, terjadi akumulasi obat
dalam tubuh sehingga memperbesar kemungkinan reaksi toksik.
1.7.3 Sediaan dan posologi
Sikloserin dalam bentuk kapsul 250 mg,
diberikan 2 kali sehari. Dengan dosis ini kemungkinan reaksi toksik kecil. Jika
keadaan lebih berat, dapat diberikan dosis lebih besar untuk jangka waktu yang
lebih singkat. Hasil terapi paling baik bila dicapai kadar lembah dalam plasma
sebesar 25-30 mg/ml. Oleh karena itu sebaiknya kadar dalam plasma dipantau
sewaktu waktu selama pengobatan. Sikloserin dosis besar (250-500mg tiap 6 jam)
dapat digunakan dengan aman bila diberikan bersama piridoksin atau depresan
SPP.
1.7.4 Efek samping
Efek samping yang paling sering timbul
dalam penggunaan sikloresin ialah oada SSP dan biasanya terjadi dalam 2 minggu
pertama pengobatan. Gejalanya ialah somnolen, sakit kepala, tremor, disantria,
vertigo, gangguan tingkah laku, paresis, serangan psikosis akut, dan konvulsi.
Serangan dapat menyerupai epilepsi grand mal atau epilepsi petit mal, dan
insidennya berhubungan dengan dosis yang digunakan. Dosis 2menurunnkan dosis
menjadi 500 mg sehari, insidennya mencolok turun. Risiko konvulsi bertambah
bila sikloserin diberikan bersama etil alkohol.
Karena efek pada SSP itu sikloserin
dikontraindikasikan bagi pasien epilepsi, dan mungkin berbahaya pada orang yang
sedang depresi atau yang mengalami ansietas.
1.8 Etionamid
1.8.1 Aktivitas anti bakteri
In vitro, etionamid menghambat
pertumbuhan M. tuberculosis jenis human pada kadar 0,9-2,5mg/ml. Basil yang
sudah resisten terhadap tuberculostatik lain masih sensitif terhadap
entionamid. Mikrobakterium jenis lain kurang sensitif terhadap etionamid. atau
memperlukan kadar yang lebih tinggi. Obat ini sama efektifnya terhadap basil
intrasel maupun ekstrasel.
Resistensi mudah terjadi bila dosis
kurang tinggi atau obat ini digunakan sendiri, dan timbul lebih lambat jika
dikombinasi dengan streptomisin atau INH.
1.8.2 Farmakokinetik
Pada pemberian peroral etinamid mudah di
absorbsi. Kadar puncak tercapai dalam 3 jam dan kadar terapi bertahan selama 12
jam. Distribusi cepat, luas, dan merata ke seluruh cairan dan jaringan tubuh.
Eksresi berlangsung cepat dan terutama dalam bentuk metabolitnya, hanya 1%
berbentuk aktif.
1.8.3 Efek samping
Efek samping yang paling sering dijumpai
adalah anoreksia, mual, dan muntah. Sering juga terjadi hipertensi postural
yang hebat, depresi mental, mengantuk dan athenia. Dapat pula terjadi rasa
kecap metalik, sedangkan kejang dan neuropati primer jarang terjadi. Efek
samping lain pada sistem saraf mencakup gangguan pada saraf olfaktorius,
pengelihatan kabur, diplopia, vertigo parasetia, sakit kepala, rasa lelah dan
tremor. Kemerahan kulit, purpura, stomatitis, ginikomastia, impotensi,
menoragi, akne, dan aloposia juga pernah dilaporkan.
Hepatitis terjadi pada sekitar 5% pasien
yang menggunakan obat ini. Gejala hepatotoksik hilang bila pengobatan
dihentikan. Fungsi hati pasien yang mendapat etionamid perlu diperiksa secara
teratur dan penggunaannya dianjurkan bersama dengan piridoksin.
1.8.4 Sediaan dan posologi
Etionamid terdapat dalam bentuk tablet
250 mg. Dosis awal ialah dua kali 250 mg sehari, kemudian dinaikan setiap lima hari dengan 125 mg sampai
maksimal 1 g/hari. Obat ini sebaiknya diberikan pada waktu makan untuk
mengurangi iritasi lambung.
1.8.5 Status dalam pengobatan
Entionamid merupakan anti tuberculosis
sekunder yang harus dikombinasi dengan anti tuberkulosis lain bila obat primer
tidak efektif lagi atau dikontraindikasikan. Obat ini tidak beredar
diindonesia.
1.9 Kapreomisin
1.9.1 Efek samping
Kapreomisin dapat merusak saraf otak
VIII, oleh karena itu perlu dilakukan audiometrik dan pemeriksaan fungsi
vestibuler sebelum mulai pemberiannya. Efek samping lain adalah hipokalemia,
memburuknya angka angka uji fungsi hati, eosinofilia, leukositosis dan leukopenia,
serta trobositopenia.
1.9.2 Status dalam pengobatan
Kepromisin hanya digunakan dalam
kombinasi dengan antituberkulosis lain. Dalam kombinasi dengan etambutol dan
INH, obat ini terbukti bermanfaat dalam terapi tuberkulosis yang gagal diobati.
Kapreomisin tidak tersedia di indonesia.
1.9.3 Indikasi
Sikloserin merupakan obat pilihan kedua
untuk tuberkulosis. Obat ini hanya digunakan pada kegagalan terapi dengan obat
primer atau bila kumannya resisten terhadap obat obat itu. Penggunaannya harus
bersama dengan obat yang lebih efektif.
1.10 Pengobatan tuberculosis
Tuberculosis (TB) merupakan penyakit
infeksi bakteri menahun yang disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis,
suatu basil tahan asam yang ditularkan melalui udara.
Ciri ciri seseorang yang terinfeksi TB
adalah sebagai berikut:
a) Batuk
kronis
Beberapa dokter menganjurkan,
batuk yang tidak pulih sampai
2 pekan mesti segera dibawa dikarenakan selalu ada kemungkinan tertular TBC. Batuk dikarenakan infeksi TBC umumnya dibarengi dahak kental, terkadang juga ada bercak darah jika infeksinya telah mulai kronis.
b) Demam
Semua type infeksi biasanya ditandai adanya demam atau peningkatan suhu tubuh,
yang berarti system kekebalan tubuh tengah berupaya memerangi kuman. Infeksi TBC juga mengakibatkan demam
yang terkadang dibarengi menggigil serta keringat dingin.
c) Berat
badan turun
Umumnya pengidap TBC
mengeluhkan hilangnya nafsu makan sepanjang berhari-hari. Efeknya
yang dapat segera dilihat penurunan berat badan dengan mencolok, sebagai salah satu yang gejala sangat khas pada infeksi TBC
di paru-paru.
d) Sesak
nafas
Infeksi kuman TBC di paru-paru atau pun saluran yang terhubung
kesana
amat
merubah
system
pernapasan.
Situasi
ini
bias
memunculkan
tanda-tanda
sesak
napas
dibarengi
nyeri dada, lantas
bila
dipindai
dengan
rontgen
maka
dapat
terlihat
ada
flek yang mengisyaratkan
ada
rusaknya di jaringan
paru.
e) Lemas
serta cepat letih
Fungsi system pernapasan menyusut dikarenakan jaringan paru-paru mengalami kerusakan, ditambah
nafsu
makan
menyusut
maka
akhirnya
menjadi
lemas
serta
cepat
letih.
Pengidap
TBC biasanya
terlihat
lesu,
sedikit-sedikit
mengeluh
kelelahan
tiap
tengah
melakukan
aktivitas.
TB dapat menyerang
beberapa organ tubuh, diantaranya paru paru, ginjal, tulang, dan usus.
Tubercolosis
( TBC ) tulang yaitu penyakit yang dikarenakan
oleh virus mycobacterium
tuberculosa. Tuberculosis tulang yaitu satu system peradangan kronik serta destruktif yang dikarenakan basil tuberkulosa yang
menyebar dengan hematogen dari focus jauh. Virus
ini
menyebar
melalui
hawa. Pintu masuk pada tubuh manusia yaitu melalui saluran pernafasan / paru-paru. Perubahan virus TBC di dalam tubuh amat lamban, bergantung
pada
daya
tahan
tubuh orang yang berkaitan.
Tubercolosis tulang ( TBC tulang ) biasa menyerang sseluruh tulang, namun yang sangat
kerap
berlangsung
yaitu
TBC
pada
tulang
belakang, pinggul, lutut,
kaki, siku, tangan serta bahu. Rahang bawah ( mandibula ) serta
sendi
tempero
mandibular
yaitu
tempat yang sangat
jarang
terjangki
toleh
kumanTBC.
Kontrol yang dikerjakan
untuk
medeteksi
ada
TBC tulang
yaitu
melalui
control
laboratorium
serta
control
radiologis.
Kontrol
radiologis
dikerjakan
dengan
foto
toraks dikarenakan
penyakit
TBC tulang 80%
dikarenakan penyebaran dari TBC paru. Bila dicurigai ada TBC tulang maka dikerjakan control tingkat lanjut melewati foto pada tulang ( foto polos posisi ap, lateral sertact-scan atau
MRI ).
ü
Tanda-tanda
TBC tulang
Awal mulanya pasien jadi pegal-pegal dibarengi rasa capek
pada sore hari. Pada tingkat setelah itu pasien alami penurunan berat badan, demam, berkeringat
pada
malam
hari, kehilangan
nafsu
makan.
Pada sendi gejalanya serupa arthritis yakni
nyeri
pada
sendi, bengkak, alami
keterbatasan
gerak
kulit di atas
tempat yang merasa
nyeri
terkadang
teraba
panas
serta
terkadang
merasa
dingin, kulit
berwarna
merah
kebiruan.
Pada anak-anak gejalanya bias ditemukan spasme otot saat malam hari ( night start ). Kadang-kadang dibarengi demam ringan. Pada masalah yang berat, kelemahan
otot
dapat
berlangsung
sedemikian
cepatnya
menyerupai
kelumpuhan.
ü Cara
penyembuhan TBC tulaang
Pada step awal
pasien
memperoleh
obat
tiap-tiap
hari
serta
diawasi
segera
untuk
menghindari
terjadinya
kekebalan
pada
seluruh obat. Namun ditahap setelah itu pasien memperoleh type obat
lebih
sedikit
tetapi
didalam
periode
waktu yang lebih lama. Step kelanjutan ini mutlak untuk membunuh kuman persistent hingga
menghindar
berlangsungnya
kekambuhan.
Penyakit
TBC tulang
bias
mengakibatkan
tulang yang yang
diserang
jadi
rusak, hingga
dapat
berlangsung
pengeroposan
tulang.untuk
memulihkannya
dibutuhkan
kesabaran
serta
waktu yang lama. Terlebih bila pasien telah berumur lanjut. Penyakit
ini
tidak
bersifat
turunan, namun
kemungkinan
menular.
Gastrointestinal
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang
berkembang terutama bila sistem kekebalan tubuh melemah. Tuberkulosis usus
dapat menginfeksi setiap bagian dari usus, tetapi tempat paling favorit adalah
ileum dan usus besar.
Pengobatan
gastrointestinal tuberculosis berlangsung selama enam bulan. Ini menggunakan
terapi obat yang terdiri dari empat obat: isoniazid, pirazinamid, dan etambutol
atau streptomisin firampicina. Setelah periode 60 hari piranzinamida obat
berhenti. Selama 4 bulan isoniazid dan rifampisin lebih lanjut. Tergantung pada
infeksi resisten terhadap isoniazid menghentikan dan melanjutkan pengobatan
dengan rifampisin dan etambutol piranzinamida.
Tujuan pengobatan tuberculosis adalah
memusnahkan basil tuberculosis dengan cepat dan mencegah kambuh. Selain itu
juga bertujuan mengurangi transmisi TB kepada orang lain dan mencegah
memperlambat timbulnya resisten TB terhadap obat. Idealnya pengobatan untuk
menghasilkan pemeriksaan sputum negatif baik pada uji hapusan dahak maupun
biakan kuman dan hasil itu tetap negatif untuk selamanya.
A. Pemilihan
obat
Ada dua prinsip pengobatan tuberculosis
yaitu:
a) Paling
sedikit menggunakan dua obat
b) Pengobatan
harus berlangsung setidaknya 3-6bulan setelah sputum negatif untuk tujuan
sterilisasi lesi dan mencegah kambuh.
B. Regimen
pengobatan
Menurut panduan WHO regimen pengobatan
terdiri atas dua fase yaitu fase awal (initial phase) dan satu fase lanjutan
(continoum phase). Regimen ini ditulis dengan kode baku sebagai berikut: angka
didepan satu fase menunjukan jangka waktu pengobatan fase tersebut dalam bulan.
Huruf menunjukan obat dan angka dibelakang, huruf menunjukan frekuensi
pemberian obat perminggu. Kalau tidak ada angka disamping atau disamping bawah
huruf, menunjukan pemberian obat setiap hari/minggu huruf didalam kurung
merupakan obat dalam kombinasi tetap (fixed-dose combination=FDC).
Contoh : 2 (HRZE)/4(HR)
Fase awal 2(HRZE) diberikan selama 2
bulan setiap hari dengan kombinasi tetap isoniazid (H), rifampisin ®, Pirazinamid (Z) dan
etambutol (E). Kemudian dilanjutkan dengan satu fase lanjutan 4(HR), artinya
lama pengobatan 4 bulan dengan kombinasi tetap INH dan rifampisin, tiga kali
perminggu.
C. Paduan
terapi untuk pasien BTA (Basil Tahan Asam) positif
1.
Paduan 9HR,
2.
Paduan HR/8H2R2
3.
Paduan 2HRZ/4HR
4.
Paduan 2HRZ/4HRZ
5.
Paduan 2HRZ/4H3R3
6.
Paduan 2H3R3Z3/4H3R3
7.
Paduan 2HRZE/4H3R3
8.
Paduan 2HRZ/2H3R3
D. DOTS
(Directly observed treatment, short-course)
DOT adalah strategi program
pemberantasan TB yang direkomendasikan oleh WHO untuk memastikan mencapai hasil
penyembuhan pasien TB yang tinggi. Strategi observasi langsung pada program ini
maksudnya satu pengawas makan obat (PMO) melihat pasien menelan obat anti TB
yang diberikan. Hal ini untuk menjamin bahwa pasien makan obat yang benar. PMO
bisa seorang petugas kesehatan atau anggota masyarakat yang sudah dilatih. Karena semua pasien diobati dengan regimen
jangka pendek maka DOTS merupakan strategi yang dianjurkan, kecuali terdapat
kontraindikasi untuk rifampisin.
E. Anjuran
regimen terapi fase lanjutan untuk pasien baru kategori I dan III
Bentuk fase lanjutan ini adalah sebagai
berikut:
a)
4HR setiap hari atau tiga kali seminggu,
diberikan dengan cara DOT, sesuai untuk pasien rawat atau PMO (Pengawas Makan
Obat) dekat. Untuk cara ini penggunaan FDC sangat dianjurkan.
b)
6HE diberikan setiap hari. Pemberian
obat 3 kali/minggu cocok untuk negara negara dengan PUSKESMAS sedikit. Untuk
pasien HIV, semua jenis obat antiretrovinal dalam kombinasi dapat diberikan
bersama anti-TB dalam regimen ini.
F. Tatalaksana
untuk kasus yang gagal dengan regimen terapi kategori 1
Umumnya gagal terapi dengan regimen
kategori I probabilitas tinggi terjadi MDR (Multidrug-resistant) terutama bila
dilaksanakan dengan terapi DOT dan menggunakan rifampisin dalam terapi fase
lanjutan. Regimen terapi kategori II kurang efektif untuk mengobati kasus
TB-MDR dan dapat menyebabkan peningkatan resistensi obat. Pada kasus yang gagal
dengan terapi regimen kategori I, proporsi TB-MDR tinggi, perlu dipertimbangkan
untuk mengatasi kasus tersebut dengan terapi regimen kategori IV, yang
memerlukan DST (Individualized Drug Susceptibility testing) atau data DRS (Drug
Resitence Surveilance) yang representatif dari pasien. Regimen kategori IV
hanya dilakukan pada program DOTS dan dirancang khusus untuk situasi setempat.
G. Resistensi
Penggunaan
obat tunggal akan cepat menimbulkan resistensi. Untuk tuberculosis yang telah
resisten terhadap salah satu obat TB harus digunakan obat lain yang masih
efektif terhadap kuman tersebut.
H. Efek
samping
Walaupun
sebagian besar antituberculosis dapat diterima dalam terapi, semuanya mempunyai
efek toksik potensial. Kesalahan yang banyak dilakukan oleh para dokter ialah
kegagalan mengenali efek toksik secara
cepat. Reaksi hipersensitivitas seringkali terjadi antara minggu ketiga dan
kedelapan setelah pengobatan dimulai.
I. Regimen
pengobatan pada pasien defisiensi imun
Infeksi
tuberculosis pada pasien defisiensi imun terutama pasien AIDS atau pengidap HIV
biasanya lebih cepat berkembang dan sukar sembuh karena imunitasnya sangat
menurun. Oleh karena itu memerlukan pengobatan yang lebih intensif. The center
for desease control (CDC) Amerika serikat menganjurkan agar pengobatan pasien semacam
ini sedikitnya diberikan selama 9 bulan.
J. Penilaian
hasil pengobatan
Penilaian
pada hasil pengobatan TB dengan BTA positif paling baik dilakukan setiap bulan
sampai hasil pemeriksaan BTA negatif. Pada pengobatan jangka pendek biasanya
80% hasil pemeriksaan BTA akan negatif dalam waktu 3 bulan. Kalau tidak, harus
dilakukan penilaian ulang.
Pada
pasien yang BTA-nya negatif pada awal pengobatan, penilaian yang praktis
dilakukan dengan pemeriksaan radiologik toraks dan pemeriksaan kliniks.
Kegagalan
pengobatan dapat terjadi karena mungkin paduan pengobatan tidak memadai, dosis
tidak cukup, makan obat tidak teratur, masa pengobatan kurang lama, adanya
kuman yang resisten , atau menjadi resisten, putus berobat, dsb.
K. Pengobatan
ulang
Pengobatan
ulang dilakukan bila terjadi kegagalan dalam pengobatan atau penyakit kambuh
setelah pengobatan selama 6 atau 9 bulan atau drop out. Pengobatan dinyatakan
gagal bila setelah 6 bulan pengobatan hasil uji BTA tetap positif. Pada pasien
ini perlu dilakukan uji kepekaan. Sambil menunggu hasil uji kepekaan pengobatan
dilanjutkan dengan obat yang sama. Kegagalan pada obat awal biasanya disertai
adanya basil yang resisten.
Kambuhan
setelah obat yang berhasil sering disebabkan oleh galur basil yang sama dengan
basil yang diolesi selama pengobatan. Pengobatan ulang dalam kasus ini juga
menambahkan dua obat yang aktif terhadap basil tersebut. Bila basil resisten
terhadap INH, maka pemberian rifampisin bersama etambutol biasanya akan
memadai.
L. Pengobatan
pencegahan
Profilaksis
diberikan kepada 2 pasien ini:
1.
Individu dengan kontak positif tetapi
uji mantour negatif. Tujuan pemberian profilaksis disini ialah mencegah
infeksi.
2.
Individu yang telah terinfeksi tetapi
tanpa gejala klinik. Tujuan profilaksis disini ialah mencegah timbulnya
penyakit yang aktif.
M. Terapi
kortikosteroid pada TB
Kortikosteroid
hanya diberikan pada pasien yang sangat parah seperti meningitis dan
perikarditis tuberculosis dengan syarat bahwa pasien sudah mendapat
perlindungan cukup dengan tuberkulostatik. dan kemungkinan terjadinya efek
samping steroid harus dinilai setiap individu.
Manfaat
pemberian steroid ini hanya tampak pada bulan pertama sampai bulan ketiga
berupa perbaikan klinis yang cepat.
Gambaran
klinik dan radiologik pasien yang menerima steroid dapat cepat memburuk selama
pengobatan dengan kortikosteroid, sehingga kecurigaan akan timbulnya reaksi
buruk itu harus selalu ada bila pemberian steroid. Bila diperlukan dosis
kortikosteroid ialah dosis yang ekuivalen dengan 40 mg prednison sehari yang
diberikan paling lama 6 minggu, kemudian diturunkan perlahan lahan supaya tidak
terjadi fenomena rebound akibat
pemberian steroid dosis tinggi.
N. Tablet
kombinasi tetap
Obat
kombinasi tetap mempunyai berbagai keuntungan dibandingkan dengan obat tunggal.
a)
Kekeliruan dalam peresepan berkurang
karena dosis yang dianjurkan lebih jelas dan penyesuaaian dosis terhadap berat
badan lebih mudah.
b)
Jumlah tablet yang dimakan sedikit,
sehingga hal ini bisa meningkatkan kepatuhan pasien makan obat
c)
Bila terapi tidak diamati, pasien tidak
bisa memilih obat sesuka hati
Namun
demikian FDC juga mempunyai kerugian yaitu:
a)
Dapat terjadi kesalahan preskripsi obat,
dosis sangat berlebihan (resiko toksisitas) atau kadar sub inhibitor semua obat
(resiko timbul resistensi)
b)
Petugas kesehatan dapat cenderung
menghindari DOT terapi, karena merasa yakin kepatuhan makan obat terjamin
c)
Bioavailabilitas rifampisin rendah untuk
beberapa FDC dapat terjadi terutama dalam kombinasi 3 atau 4 obat
d)
Penggunaan FDC tidak menghilangkan
kebiasaan makan lebih dari satu obat sehingga timbul toksisitas.
Dengan
mempertimbangkan resiko dan manfaat, WHO menganjurkan dengan sangat penggunaan
tablet FDC untuk pengobatan TB, bila kondisi sesuai.
FORMULASI
ANTI-TB ESENSIAL ANJURAN WHO
Preparat tunggal
|
||
Obat
|
Bentuk
|
Kekuatan
|
INH
Rifampisin
Pirazinamid
Etambutol
Streptomisin
|
Tablet
Tablet atau kapsul
Tablet
Tablet
Bubuk untuk suntik dalam vial
|
100 mg, 300 mg
150 mg, 300 mg
400 mg
100 mg, 400 mg
1 g
|
Preparat kombinasi
tetap (FDC)
|
|||
Obat
|
Bentuk
|
Dosis/hari
|
Dosis
3 kali seminggu
|
INH
+ rifampisim
INH
+ etambutol
INH
+ rifampisin + pirazinamid
INH+
rifampisin + pirazinamid + etambutol
|
Tablet
Tablet
atau granul dalam kemasan
Tablet
Tablet
Tablet
atau granul dalam kemasan
Tablet
|
75
mg + 150 mg
150
mg + 150 mg
30
mg + 60 mg
150
mg + 400 mg
75
mg + 150 mg + 400 mg
30
mg + 60 mg + 150 mg
75
mg + 150 mg + 400 mg + 275 mg
|
150
mg + 150 mg
60
mg + 60 mg
150
mg + 150 mg + 500 mg
|
II.
Leprastatik
Penyakit lepra di Indonesia cukup banyak
dan memerlukan perhatian serius. Penyakit lepra disebabkan oleh mikobacterium leprae. WHO menganjurkan
penggunaan kombinasi 3 obat sekaligus yaitu dapson, rifampisin dan klofazimin
untuk pemberantasan global penyakit lepra.
2.1
Sulfon
Golongan sulfon merupakan derivate 4.4
diamino difenil sulfon (DDS, dapson) yang memiliki sifat farmakologi yang sama.
Aktivitas sulfon terhadap basil lepra secara in vitro tidak dapat diukur
mengingat basil belum dapat dibiakkan dalam media buatan. Terhadap basil, tuberkulosis
obat ini sifatnya bakteriostatik; dapson dapat menghambat pertumbuhan basil
pada kadar 10 µg/mL.Resistensi dapat terjadi selama pengobatan berlangsung.
Mekanisme kerja sulfon sama dengan
sulfonamid. Kedua golongan obat ini mempunyai spektrum antibakteri yang sama,
dan dapat dihambat aktivitasnya oleh PABA secara bersaing.
2.1.1
Farmakokinetik
Dapson diserap lambat di saluran cerna,
tetapi hampir sempurna. Sulfokson diserap kurang sempurna sehingga banyak
terbuang bersama feses. Kadar puncak tercapai setelah 1-3 jam, yaitu 10-15
µg/mL setelah pemberian dosis yang dianjurkan. Kadar puncak cepat turun, tetapi
masih dijumpai dalam jumlah cukup setelah 8 jam. Waktu paruh eliminasi berkisar
antar 10-50 jam dengan rata-rata 28 jam. Pada dosis berulang, sejumlah kecil
obat masih ditemukan sampai 35 hari setelah pemberian obat dihentikan.
Golongan sulfon tersebar luas di seluruh
jaringan dan cairan tubuh. Obat ini cenderung tertahan dalam kulit dan otot,
tetapi lebih banyak dala hati dan ginjal. Obat terikat pada protein plasma
sebanyak 50-70%, dan mengalami daur enterohepatik. Daur ini yang menyebabkan
obat masih ditemukan dalam darah lama setelah pemberiannya dihentikan. Sulfon
mengalami metabolisme dalam hati dan kecepatan asetilasinya ditentukan oleh faktor
genetik.
Ekskresi melalui urin berbeda jumlahnya
bagi setiap sediaan sulfon. Dapson dosis tunggal di ekskresi sebanyak 70-80%
terutama dalam bentuk metabolitnya. Probenosid dapat menghambat ekskresi dapson
dan metabolitnya.
2.1.2 Efek samping
Efek samping sediaan sulfon yang paling
sering terlihat ialah hemolisis yang berhubungan erat dengan besarnya dosis.
Hemolisis dapat terjadi pada hampir setiap pasien yang menerima 200-300 mg
dapson sehari. Dosis 100 mg pada orang normal atau dosis kurang dari 50 mgpada
orang yang menderita kekurangan enzim G₆PD
tidak menimbulkan hemolisis . Metemoglobinemia sering pula terlihat,
kadang-kadang disertai pembentukan Heinz boby.
Walaupun seperti itu anemia hemolisis
jarang terjadi kecuali pasien juga menderita kelainan eritrosit atau sumsum
tulang. Tanda hipoksia akan tampa bila hemolisis sudah demikian berat.
Anoreksi, mual dan muntah dapat terjadi
pada pemberian sulfon. Gejala yang pernah dilaporkan ialah sakit kepala, gugup,
sukar tidur, penglihatan kabur, parestesia, neuropati periver yang mampu pulih,
demam, hematuria, pruritus, psikosis, dan berbagai bentuk kelainan kulit, dan
juga gejala mirip mononucleosis infeksiosa yang berakibat fatal pernah pula
dilaporkan. Sulfon dapat pula menimbulkan reaksi leprometosis yang analog
dengan reaksi jarischherxhelme. Sindrom yang disebut “Sindrom sulfon” ini dapar
timbul 5-8 minggu setelah awal terapi pada pasien yang bergizi buruk. Gejala
dapat berupa demam, malaise, dermatitis eksfoliatif, ikterus yang disertai
nekrosis hati, limfadenopati, methamoglobinemia dan anemia.
2.1.3 Sediaan dan posologi
Sulfon dapat digunakan dengan aman
selama beberapa tahun bila pemberian dilakukan dengan seksama. Pengobatan harus
dimulai dengan dosis kecil, kemudian dinaikkan perlahan-lahan dengan pengawasan
klinik dan laboraturium secara teratur. Reaksi lepromatosis berupa sindrom
sulfon dapat demikian parah dan memerlukan penghentian terapi.
Dapson diberikan dalam bentuk tablet 25
dan 100 mg secara oral. Pengobatan dimulai dengan dosis 25 mg. Dalam 2 minggu
pertama dosis ini diberikan sekali dalam seminggu, kemudian setiap 2 minggu
frekuensi pemberian ditambahkan satu kali sampai tercapai pemberian 5 kali
seminggu. Setelah itu dosis dinaikkan menjadi 50 mg, yang diberikan 3 kali
seminggu selama 1 bulan dan akhirnya dinaikkan 4 kali seminggu untuk waktu yang
tidak terbatas. Pemberian dapson 100 mg dua kali seminggu mungkin cukup efektif
untuk pengobatan jangka lama.
Natrium sulfokson diberikan pada pasien
yang mengalami gangguan saluran cerna akibat dapson. Natrium sulfokson terdapat
dalam bentuk tablet bersalut gula 165 mg. Dosis awal ialah 330 mg diberikan 2
kali seminggu selama2 minggu pertama, kemudian pemberian dinaikkan lagi menjadi
6 kali seminggu. Dosis maksimum per hari ialah 660 mg.
2.2
Rifampisin
Farmakologi obat ini telah ditinjau
sebagai antituberkulosi. Pada hewan coba, antibiotik obat ini cepat mengadakan
sentralisasi kaki mencit yang diinfeksi dengan M. Leprae dan tampaknya
mempunyai efek bakterisid. Walaupun obat ini mampu menembus sel dan saraf,
dalam pengobatan yang berlangsung lama saja ditemukan kuman hidup. Beberapa
pasien yang makan obat ini selama 10 tahun tidak timbul masalah, tetapi
resistensi timbul dalam waktu 3-4 tahun. Atas dasar inilah penggunaan
rifampisin pada penyakit lepra hanya dianjurkan dalam kombinasi dengan obat
lain. Kini dibeberapa negara sedang dicoba penggunaan rifampisin dan dapson
untuk M. Leprae yang sensitif terhadap
dapson, serta kombinasi rifampisin dengan klofazimin atau etionamid untuk M.
Leprae yang resisten terhadap dapson. Dosisnya untuk semua jenis lepra adalah
600 mg/hari. Kini juga sedang diteliti paduan yang menggunakan rifampisin dosis
300 mg/hari atau untuk penggunaan intermiten dengan dosis 600 mg sampai 1500
mg.
2.3
Klofazimin
Kolazimin merupakan turunan fenazin yang
efektif terhadap basil lepra. Kedudukan obat ini sekarang ialah sebagai
pengganti dalam kombinasi dengan rifampisin bila basil lepra sudah resistensi
terhadap dapson. Obat ini tidak saja efektif untuk lepra jenis lepromotosis, tetapi
juga memiliki efek antiradang sehingga dapat mencegah timbulnya aritema
nodosum. Akhir akhir in banyak bukti yang menunjukan bahwa klofazimin dapat
menekan eksaserbasi lepramatosis.
Pada pemberian oral, obat ini diserap
dan ditimbun dalam jaringan tubuh. Keadaan ini memungkinkan pemberian obat
secara berkala dengan jarak waktu antar dosis 2 minggu atau lebih. Efek
bakterisid klofazimin baru terlihat setelah 50 hari terapi. Dosis klofazimin
untuk segala bentuk lepra ialah 100 mg sehari. Untuk mengendalikan reaksi
lepromatoss mungkin diperlukan dosis sampai 3 kali 100 mg sehari, yang harus
segera dikurangi bila timbul keluhan saluran cerna. Kulit dapat mengalami
pigmentasi merah dan hitam yang mengganggu bagi pasien berkulit putih.
Klofazimin tersedia sebagai kapsul 100 mg.
2.4
Amitozon
Obat
turunan tuosemikarbazon ini lebih efektif terhadap lepra jenis
tuberkuloid dibandingkan dengan jenis lepromatosis. Resistensi dapat terjadi
selama pengobatan sehingga pada tahun kedua pengobatan perbaikan melambat dan
pada tahun ketiga penyakit mungkin kambuh. Karena itu amitiozon dianjurkan
penggunaannya bila dapson tidak dapat diterima pasien.
Efek samping yang paling sering terjadi
ialah anoreksia, mual dan muntah. Anemia karena depresi sumsum tulang terlihat
pada sebagian besar pasien. Leukopenia dan agranulositosis dapat terjadi,
tetapi yang berat keadaannya terdapat pada 0,5% pasien. Anemia hemolitik akut
dapat terjadi dengan dosis tinggi
2.5
Obat obat lain
Tiambutosin digunakan untuk pasien yang
tidak tahan terhadap efek samping dapson. Obat ini tidak seefektif dapson.
Resistensi cenderung timbul setelah penggunaan obat sekitar 2 tahun.
Talidomid yang dalam sejarah menimbulkan
kelainan teratogenik berupa fokomelia telah dicoba dan tampaknya efektif untuk
mengobati eritema nodosum leprosum. Dosis 100-300 mg per hari sudah efektif
tetapi efek teratogenik membatasi penggunaannya.
2.6
Pengobatan lepra
Lepra atau biasa disebut dengan kusta
adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium
leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. (Depkes
RI, 1998)Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi
mikobakterium leprae. (Mansjoer Arif, 2000)
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang di sebabkan oleh mycobacterium
lepra yang interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya
dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem
endotelial, mata, otot, tulang, dan testis ( djuanda, 4.1997 )
Kusta adalah penykit menular pada umunya mempengaruhi kulit dan saraf
perifer, tetapi mempunyai cakupan manifestasi klinis yang luas ( COC, 2003)
Faktor faktor penyebab tejadinya kusta adalah:
a) Sumber
Penularan
Hanya manusia
satu-satunya sampai saat
ini yang dianggap
sebagai sumber penularan walaupun
kuman kusta dapat
hidup pada armadillo,
simpanse, dan pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyai
kelenjar thymus.
b) Cara
Keluar dari Pejamu (Host)
Mukosa hidung
telah lama dikenal
sebagai sumber dari
kuman. Suatu kerokan hidung dari penderita tipe
Lepromatous yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 10-10.
Dan telah terbukti
bahwa saluran napas
bagian atas dari
penderita tipe Lepromatous
merupakan sumber kuman yang terpenting dalam lingkungan
c) Cara
Penularan
Kuman kusta
mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga
bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup) keluar
dari tubuh penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum diketahui secara
pasti bagaimana cara penularan penyakit
kusta. Secara teoritis
penularan ini dapat
terjadi dengan cara kontak
yang lama dengan
penderita. Penderita yang
sudah minum obat
sesuai dengan regimen WHO tidak
menjadi sumber penularan bagi orang lain.
d) Cara
Masuk ke Pejamu
Tempat masuk
kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini belum dapat dipastikan.
Diperirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernapasan bagian atas dan
melalui kontak kulit yang tidak utuh
e) Pejamu
Hanya
sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderita, hal ini
disebabkan karena adanya
imunitas. M. leprae
termasuk kuman obligat intraseluler dan
sistem kekebalan yang
efektif adalah sistem
kekebalan seluler. Faktor fisiologik seperti
pubertas, menopause, kehamilan,
serta faktor infeksi
dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan
klinis penyakit kusta.
Dari studi keluarga
kembar didapatkan bahwa faktor genetik mempengaruhi tipe penyakit yang
berkembang setelah infeksi. Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta,
hampir sebagian kecil (5%) dapat ditulari. Dari 5% yang tertular tersebut,
sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang dapat menjadi sakit.
Pengobatan lepra juga mengalami
perubahan setelah suksesnya pengobatan tuberkolosis dengan paduan terapi jangka
pendek. Dimasa lalu pengobatan lepra biasanya dengan obat tunggal. Kini banyak
diusahakan pengobatan minimal dengan dua obat dan rifampisin juga merupakan komponen
yang penting. Untuk memahami pengobatan lepra, perlu dipahami bentuk klinik
penyakit tersebut.
Klasifikasi. Madrid membagi penyakit ini
menjadi 4 tipe yaitu tipe indeterminate, tuberculoid, borderline, dan
lepromatosa. Sedangkan Ridley dan Jopling membaginya menjadi 6 tipe yaitu tipe
indeterminate, tuberculoid, borderline tuberculoid ( tipe BT), boderline atau
midborderline (Tipe BB), boderline lepramatosa ( Tipe BL), dan lepromatosa
(LL). Lepra tipe indeterminate merupakan bentuk permulaan penyakit lepra yang
memperlihatkan bermacam bentuk macula hipopigmentasi. Sekitar 75% lesi ini
sembuh spontan, yang lain mungkin menetap sebagai tipe indeterminate atau
berkembang menjadi batuk-batuk tuberculoid, boderline untuk seterusnya menjadi
bentuk lepromatosa. Tanda klinik bentuk tuberculoid sampai bentuk lepromatosa.
Bila kuman M.
Leprae masuk kedalam tubuh
seseorang, maka dapat timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang
tersebut.Bentuk tipe klinis tergantung pada sistem imunitas seluler (SIS) penderita.
Bila SIS baik maka akan tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid, dan sebaliknya apabila SIS rendahakan memberikan
gambaran ke arah lepromatosa.Bentuk-bentuk
Lepra :
1.
Bentuk Lepra tuberkuloid.
Disebut juga dengan nama Lepra paucibacillair. Pada tahap ini pasien masih
mudah disembuhkan, karena ternyata pasien LT masih punya daya-tangkis imunologi
yang baik. Bentuk ini paling sering dijumpai, kurang lebih 75% dari jumlah
penderita akan tetapi tidak bersifat menular. Gejalanya pertama, berupa noda-noda
putih pucat dikulit yang hilang-rasa dan penebalan saraf-saraf yang nyeri
diberbagai tempat diseluruh tubuh, terutama di telinga, muka, kaki-tangan.
Dapat merusak saraf-saraf jika tidak segera diobati, oleh karena tidak
luka-luka nya yang dirasakan pasien, maka biasanya lama-kelamaan lukanya akan
membentuk borok, dan membuat puntung terutama jika luka yang menginfeksi
kaki-tangan (cacat hebat sekunder).
2.
Bentuk Lepra lepromatosa atau Lepra multibacillair.
Adalah bentuk tersebar yang sangat menular dan banyak terdapat basil, dengan cirri bentol merah (nodule), demam, dan anemia. Pasien yang terkena bentuk lepra yang kedua ini bias dikatakan dengan pasien “berparas-singa”. Karena timbul deformasi akibat infiltrat di muka,
kelumpuhan urat saraf-saraf muka (paresis facialis) dan mutilasi hidung karenara punya tulang rawan. Bila tidak diobati, pasien yang
terkena basil ini akan mengalami kerusakan organ juga.
3.
Bentuk Lepra borderline (LB)
Bentuk lepra borderline adalah bentuk kombinasi dari kedua bentuk diatas yaitu LT dan LL, yang
akan terbagi lagi menjadi tiga bentuk peralihan. Tergantung dari cirinya masing-masing apakah menjadi LTB (lepra tuberculoid borderlin), LLB (lepra lepromateus
borderline), dan lepra tak tentu.
(1) Klasifikasi
penyakit lepra menurut ridley dan jopling
Tanda-tanda
|
TT
|
BT
|
BB-LL
|
LL
|
Jumlah lesi kulit
|
Biasanya tunggal
|
Tunggal/sedikit
|
Beberapa banyak
|
Sangat banyak
|
Besar lesi
|
Beragam
|
Beragam
|
Beragam
|
Kecil
|
Permukaan lesi
|
Sangat kering/bersisik
|
Kering
|
Mengkilap
|
Mengkilap
|
Pertumbuhan
rambut pada lesi
|
Tidak ada
|
Berkurang
|
Agak berkurang
|
Tidak berkurang
|
Daya rasa pada lesi
|
Hilang sama sekali
|
Menurun jelas
|
Menurun ringan
|
Tidak hilang
|
BTA dari apus jaringan kulit
|
Nol
|
Nol/jarang
|
Beberapa banyak
|
Sangat banyak
|
BTA dari korekan hidung
|
Nol
|
Nol
|
Nol/jarang
|
Sangat banyak
|
Tes lepromin
|
+++
|
+/++
|
Negatif
|
Negatif
|
Keterangan : TT =lepra tipe tuberkuloid ; BT =Borderline
tuberculoid ; BB-LL =Mid –borderlinelepromatous ; LL =lepra lepromatosa
Untuk
kepentingan pengobatan penyakit lepra dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan
ada tidaknya BTA dalam pemerikasaan bakteriologis yaitu bentuk pausibasiler
(tipe PB) dan bentuk multibasiler (HB).
Yang tergolong
bentuk BB ialah semua tipe pada pemeriksaan laboraturium tidak ditemukan BTA
yang termasuk dalam kelompok ini ialah tipe indeterminate dan tipe tuberculoid.
Tetapi bila pada tipe ini ditemukan BTA positif, maka tipe ini tergolong dalam
bentuk multibasiler (MB).
Bentuk
multibasiler (MB) secara garis besar ialah semua tipe yang ada pada pemeriksaan
laboratorium BTA-nya positif. Tipe borderline dan lepromatosa termasuk bentuk
multibasiler walaupun BTA negatif.
(2)
Pemilihan obat
Dapson atau DDS merupakan obat terpilih untuk semua tipe
penyakit lepra. Obat ini digunakan baik pada terapi obat tuggal maupun
kombinasi. Bila terjadi resistensi terhadap DDS, atau reaksi alergi, baru
digunakan obat lain. Klofazimin yang beberapa tahun lalu hanya digunakan untuk
menggantikan DDS, kini digunakan bersama DDS untuk lepra tipe multibasiler dan
rimpafisn merupakan komponen penting dalam terapi kombinasi baik pada lepra
peusibasiler maupun multibasiler. Selain itu pada reaksi lepra juga digunakan
kortikosteroid untuk efek anti inflamasinya. Talidomid digunakan untuk reaksi
eritema dua nodosum leprosum, untuk reaksi reversal obat ini tidak bermanfaat.
(3)
Regimen pengobatan
Pengobatan
lepra di Indonesia ada dua cara yaitu terapi kombinasi dan terapi obat tunggal.
Terapi obat kombinasi yang dianjurkan di Indonesia sesuai dengan yang
dianjurkan oleh WHO.
Paduan obat
untuk kelompok pausibasiler adalah DDS 100 mg/hari selama 6-9 bulan dan
rifampisin 600 mg sebulan sekali untuk 6 bulan. Untuk menjamin kepatuhan,
pemberian rifampisin harus dibawah pengawasan dokter.Paduan obat untuk kelompok
multibasiler adalah DDS 100 mg/hari, rifampisin 600 mg sebulan sekali,
klofazimin 50 mg/hari, dan klofazimin 300 mg setiap bulan. Rifampisindan
klofazimin yang diberikan sebula sekali juga harus diawasi pemberiannya. Lama
pengobatan paling sedikit 2 tahun dan paling baik sampai hasil pemeriksaan BTA
negatif.
(4)
Terapi obat tunggal
Didaerah yang
belum terjangkau terapi obat kombinasi masih dilakukan terapi obat tunggal.
Untuk tipe PB diberikan DDS 100 mg/hari yang lamanya paling sedikit 2-3 tahun
sedang untuk MB laa pengobatan tidak ditentukan. Kini pengobatan dengan
pengobatan tunggal tidak dianjurkan lagi. Oleh karena itu bila pasien yang
sedang dalam terapi obat tunggal kemudian memperoleh kesempatan untuk
mendapatkan obat kombinasi, maka pengobatan dimulai lagi seolah belum pernah mendapat
pengobatan.
(5)
Reaksi lepra
Reaksi lepra
adalah kejadian atau episode dalam perjalanan penyakit lepra yang merupakan manifestasi reaksi imun
(kekebalan) seluler maupun humoral. Reaksi ini dapat terjadi sebelum,
selama,atau sesudah pengobatan. Yang sering terjadi ialah dalam pengobata
biasanya antara 6 bulan-1 tahun pertama. Ada dua jenis reaksi lepra.
(1)
REAKSI TIPE atau
tipe reaksi reversal yang terjadi pada tipe tuberkuloid biasanya dalam 6 bulan
pertama masa pengobatan. Gejala yang menonjol ialah neurutis sampai hilangnya
sensorimotor, kulit menjadi kemerahan dan berluka,serta edema dimuka, tangan
dan kaki. Reaksi tipe ini merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang
berhubungan dengan meningkatnya respon sistem imun seluler. Pada reaksi yang
ringan diberikan klorokuin 3 kali tablet selama 3-5 hari sementara antilepra
tetap diteruskan kalau perlu dapat diberi analgesik dan sedaptif. Pada reaksi
yang berat perlu diberika kortikosteroid.
(2)
REAKSI TIPE II atau
eritema nodosum leprosum (ENL) biasanya timbul lebih lambat daripada reaksi
tipe I. Gejala dan tandanya ialah timbulnya benjolan kecil kemerahan di kulit
(dimana saja), sering disertai neuritis, orchitis, iridosiklitis,arthritis,
proteinuria, dan limfadenopati. Pengobatan reaksi tipe II sama dengan tipe I
hanya klorokuin diberikan 1 minggu.
Pada reaksi yang berat
diberikan kortikosteroid dan dosis klofazimin dinaikan menjadi 3 x 100 mg/hari
selama 1 minggu. Bila reaksi berkurang dosis klofazimin diturunkan menjadi 2
kali 100 mg/hari sampai reaksi hilang. Kemudian dosis dikembalikanmenjadi 50
mg/hari. Bberapa pusat pemberantasan penyakit lepra di luar negeri seperti
amerika serikan menggunakan talidomid untuk mengobati reaksi lepra tipe II yang
berat dengan dosis awal 400 mg, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumat 100
mg/hari.
(6) Penilaian
hasil pengobatan
Kemajuan pengobatan dinilai dengan melihat perbaikan
gejala dan tanda klinik maupun laboratorium, serta ketekunan berobat. Setelah
memenuhi pernyataan sembuh oleh petugas kusta setepat.
Pasien kelompok pausibasiler yang telah menjalani
pengobatan selama 6-9 bulandan memenuhi kriteria sembuh klinik dan laboratories
dinyatakan selesai menjalani pengobatan (released from treatment/RTF). Tetapi
mereka masih harus diawasi dan diperiksa terus secara klinik dan laboratoris
sedikitnya setahun sekali selama 2-3 tahun. Bila selama itu tidak terjadi
perubahan klinik yang menuju kambuh, maka mereka mereka dinyatakan bebas dari
kontrol atau released from control/RFC. Bila semasa kontrol itu terjadi kembuh,
maka pengobatan dimulai lagi dari permulaan.
Pasien kelompok multibasiler yang telah menjalani
pengobatan selama 24-36 bulan dengan tekun dan memenuhi kriteria sembuh klinik
dan laboratoris dinyatakan “telah selesai menjalani pengobatan” (released from
treadment/RTF). Selanjutnya mereka masuk dalam masa pengawasan sedikitnya
selama 5 tahun. Minimal setahun sekali mereka harus diperiksa secara klinik dan
laboratoris untuk melihat perkembangan penyakitnya. Bila selama lima tahun itu
tidak terjadi perkembangan menuju kambuh, maka mereka dinyatakan bebas dari
kontrol (released from control). Tetapi bila dalam masa pengawasan itu terjadi
perkembangan menuju kambuh, maka pengobatan dimulai lagi, mulai dari permulaan.
III.
Anti virus
Virus
adalah suatu mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit. Ada beberapa virus
yang dapat menyebabkan infeksi misalnya herpes komplek, para myxovirus,
orthomyxovirus, dan varicella zoster.
Empat golongan besar antivirus yang akan
dibahas dalamdua bagian besar yaitu pembahasan
mengenaianti nonretrovirus dan anti retrovirus. Klasifikasi pembahasan
obat antivirus dalam bab ini adalah sebagai berikut:
Antinonretrovirus :
·
Antivirus untuk herpes
·
Anti firus untuk influenza
·
Antivirus untuk HBV dan HCV
Antiretrovirus
·
Nucleoside reverse transcuitase inhibitor
(NRTI)
·
Nucleoside reverse transcuitase
inhibitor (NRTI)
·
NNRTI (non-nucleoside reverse
transciptase inhibitor
·
Protease inhibitor (PI)
·
Viral entry inhibitor
3.1 Anti nonretrovirus
3.1.1 Anti virus untuk Herpes
Obat-obat yang aktif terhadap virus
herpes umumnya merupakan
antimetabolit yang mengalami
bioaktifasi mengenai enjim kinase sel
hospes atau virus untuk membentuk senyawa yang dapat menghambat DNA polimerase
Virus. Gambaran mekanisme kerja
obat-obatan antimetabolit sebagai antuvirus .
Asiklovir dimetaboleme oleh enzimkinase
virus menjadi senyawa intermediat.
Senyawa intermediat asiklovir
dimetabolisme lebih lanjut oleh enjim
kinase sel hospes menjadi anolog neklotida, yang berkerja menghambat replikasi
virus. Terdpat 2 antivirus yang diankat antara lain Asiklovir dan valasiklovir.
3.1.1.1 Asiklovir
a)
Mekanisme
kerja
Asiklovir merupakan anolog 2’-
deoksiguananogsin. Asiklovir adalah
suatu prodrug yang baru memiliki evek
antivirus setelah dimetabolisme menjadi asiklovir trivosfat.
Langkah kerja penting dari proses ini
adalah pembentukan asiklovir monofosfat yang dikatalis oleh timidin kinase pada sel hospes yang terinveksi oleh virus hespes ysng
dihasilkan oleh sitomogalevirus.
Kemundian enjim seluler menambahkan
gugus fosfat untuk membentuk
asiklovir trifosfat. Asiklovir trifosfat
menghambat sintesis DNA virus dengan cara berkompentensi dengan
2’-dioksiguanosin trifosfat sebagaisubstrak DNA
polimerase Virus. Jika asiklovir (dan bukan 2’-dioksiguanosin) yang
masukketahap replikasi DNA virus, sintesis berhenti. Introkorporasi asiklovir
monofosfat keDNA virus bersifat
ireversibel karena enjim esonoklease tidak dapat memperbaikinya. Pada proses
ini, DNA polomerase virus menjadi inakrif.
b) Resistensi
Resistensi terhadap asiklovir disebabkan
oleh mutasi pada gen timidin kinase
virus atau pada Gen DNA polimerase.
c) Indikasi
Inveksi HSV -1 dan HSV-2 baik lokal
maupun sistemik dan inveksi VZV (verisela dan hepes zoster). Karena kepekaan asiklovir terhdap VZV kurang dibandingkan dengan HSV dosis yang
diperlukan untuk trapi khusus varicella
dan zoster jauh lebih tinggi dari pada
trapi inveksi HVS.
d) Dosis
Dosis untuk herpes genital ialah 5
kali sehari 200 mg tablet, sedangkan
untuk hesper jortes ialah 4x 400 mg sehari.
Pengunaan topikal untuk keretitis herpatik adalah dalam bentuk krim.
e) Efek
samping
Obat ini
pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik .
3.1.1.2 Valasiklovir
Pada umumnya merupakan obat ester
L-valil dari asiklovir dan hanya
terdapat dalam vormulasi oral. Setelah ditelan, valasiklovir dengan cepat
diubah menjadi asiklovir dengan
enzim valasiklovir hidrolase disaluran
cerna dandihati
a. Farmakokinaetik
Bioavailabilitas oralnya 3 hingga 5x
asiklovir (54%) waktu paruh eliminasi
2-3 jam,waktu paruh intraselnya, 1-2 jam .
b. Mekanisme
kerja dan resitensi
Sama
dengan asiklovir
c. Indikasi
Valasiklovir terbukti efektif dalam
trapi inveksi yang disebabkan oleh virus
herpes simpleks, virus varicella-zoster dan
sebagai profilaksi terhadap penyakit yang disebabkan sitomegalovirus.
d. Dosis
Untuk harpes genital peroral 2 kali sehari 500 mg tablet selama 10 hari. Untuk herpes zoster 3
kali sehari 2 tablet 500 mg selama 7 hari.
e. Efek
samping
Sama
dengan asiklovi.
3.1.2 antifirus
untuk influenza
3.1.2.1 Amatadin dan rimatadin
a) Mekanisme
kerja, merupakan aantivirus yang berkerja pada protein M2 virus, suatu kanal
ion trans membran yang dilaktifasi oleh PH.
b) Resitensi
, mutasi pada domain transmembran protein M2 virus menyebabkan resitensi virus
terhadap amantadin dan rimatadin.
c) Indikasi,
pencegahan dan trapi awal infeksi virus influenza A (amantadin juga di
diditansikan untuk trapi penyakit
parkinson).
d) Dosis,
tersedia dalam bentuk sirup dan tablet untuk pengunaan oral. Amatadin diberikan dalam dosis 200 mg per hari (2 kali 100 mg kapsul).
Rimatadin di berikan dalam 300 mg per hari ( 2 kali sehari 100 mg tablet).
e) Resitensi, terhadap amatadin dan rimatadin disebabkan
oleh mutasi yang dapat mengubah asam amino pada kanal M2 virus.
f) Efek
samping, yang terseriang adalah efek samping gastro intensitinal ringan yang
tergantung dosis.
3.1.3 antivirus untuk HBV dan HCV
3.1.3.1Lamivudin
Lmivudin merupakan L-enantiomer analok
deoksisitidin. Di metabolismekan di hepatosid Menjadi netuk trifosfat yang
aktif. Lamivudin berkerja dengan cara
menghentikan sintesis DNA. Secara
kompetitip menghambat polimerase virus
a) Resistensi,
resistensi terhadap lamuvidin disebabkan oleh mutasi pada DNA polimerase virus.
b) Farmakokinetik, bioavailabitas oral lamivudian adalah
80% tecapai dalam 0,5-1,5 jam setelah
pemberian dosis. Limivudin
didistribusikan secara luas dengan vd setara dengan volume cairan tubuh.
c) Indikasi,
infeksi HBV (wild-type dan procore variants)
d) Dosis,
per oral 100 mg per hari (dewasa), untuk
anak-anak 1 mg/kg yang bila perlu di tingkatkan 100 mg/hari.
e) Evek
samping, obat ini umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang
terjadi seperti sakit kepala dan mual.
3.2
. Antiretrovirus
3.2.1 necleoside
reverese transcritase inhibitor (NRTI)
Reverse trans ciptase mengubah RNA
menjadi DNA provital sebelum tehubung dengan kromosom hospes. Karena anti virus
golongan ini bekerja pada tahap awal replikasi HIV, obat-obat golongan mencegah
terjadinya inveiksi akut sel yang rentan, tapi hanya sedikit yang berefek pada
sel yang telah terinfeksi HIV. Untuk dapat bekerja semua obat golongan ini
harus mengalami fosforilasi oleh enzim sel hospes di sitoplasma.
3.2.1.1 Lidovediun
a. Mekaanisme
kerja, target jidovedium adalah enzim reverse transcriptase HIV. Jidofudine
bekerja dengan cara menghambat enzim referse transciptasevirus, setelah gugus
ezidotinidin pada zidofudine mengalami fosforilasi.
b. Resistensi,
resintensiterhadap zidofudin disebabkan oleh mutasi pada enzim reverse trans
ciptase. Terhadap laporan resistensi silang dengan anolog nukleusida lainnya.
c. Spetrum
aktivitas, HIV(tipe 1&2).
d. Idikasi,
infeksi HIV, dalam kombinasi HIV lainya
e. Dosis,
zidofidin tersedia dalam bentuk kapsul 100 mg, tablet 300 mg dan sirup 5 mg/5
ml. Dosis per oral 600 mg/hari
f. Efek
sampingnya adalah anemia, neutrpenia, sakit kepala, mual.
3.2.1.2 Abakafil
a) Mekanisme
kerja, bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA
virus.
b) Resistensi,
resistensi terhadap abakafir disebabkan oleh mutasi pada RT kodon 184, 65, 75,
dan 115.
c) Spektrum
aktivitas, HIV (tipe 1&2). Indikasi, infeksi HIV dalam kombinasi dengan
anti HIV lainnya seperti zidofodin dan lanifudin.
d) Dosis,
per oral 100 mg/hari (2 tablet 300 mg).
efek samping, mual, muntah, diare, reaksi hipersensitif (demam, malaise, ruang), ganguan gastro intestinal.
efek samping, mual, muntah, diare, reaksi hipersensitif (demam, malaise, ruang), ganguan gastro intestinal.
3.2.2 Ntcleutide reverse transceriptase inhibitor
(NtRTI)
Tenofir disoproksil fumarat merupakan
neclootide reverse transceriptase inhibitor pertama yang ada untuk terapi
infeksi HIV-1. Obat ini di gunakan dalam kombinasi dengan obat anti retrovirus
lainnya. Tidak seperti NRTI yang harus melalui 3 tahap fosforilase intraselular
untukmenjadi bentuk aktikNtRTI hanya membutukan 2 tahap saja. di harapkan,
dengan berkurangnya satu tahap fosforilasi, obat dapat bekerja lebuih cepat dan
konvensinya menjadi bentuk aktif lebih sempurna.
3.2.2.1 Tenofovir disoproksil
a. Mekanisme
kerja, bekerja pada HIV RT(dan HB RT)dengan cara menghentikan pembentukan rantai
BNA virus.
b. Resistensi,
resistensi terhadap tonofovir di sebabkan oleh mutasi pada RT kodon 65.
c. Farmakokinetik,
di tentukan pada subjek yang menerima
tonofovir 1mg-kg IV 1 kali selama tujuh hari.
d. Spectrum
aktifitas, HIV (Type1 dan Type2) serta berbagai retovirus lainnya dan HBV.
e. Indikasi,
infeksi HIV dalam kombinasi dengan efaviren; tidak boleh di kombinasi dengan
lamifudin dan abakafir.
f. Sedian
dan dosis, per oral sehari 300mg Tablet.
g. Effek
samping, mual, muntah,flatulens, diare.
3.2.3 Non-nucleoside
reverse trancriptase inhibitor (NNRTI)
non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor
merupakan kelas obat yang menghambat aktifitas enzim reverse transcriptase
dengan cara berikatan di tempat yang aktif enzim dan meginduksi perubahan
ponformasi pada situs aktif ini.
Nevirapin mekanisme kerja, bekerja pada situs
alosterik pada ikatan non-substrack HIV-1 RT.
a)
Resistensi, resistensi terhadap
revinapin di sebabkan oleh mutasi pada RT.
b)
Spectrum aktifitas, HIV type1.
c)
Indikasi , infeksi HIV-1, dalam
kombinasi dengan anti HIV lainnya, terutama RETI.
d)
Dosis, per oral 200mg per hari selama 14
hari pertama.
e)
Efek samping, demam, ruam, fatigue, mual
dan peningkatan enzim hati.
3.2.4 Protease
Inhibitor (PI)
Semua pi bekerja dengan cara berikatan secara
reversibel dengan situs aktif HIV-PROTEASE. Hal ini menyebabkan terhambatnya
pengelepasan polipeptida per cursorvirus oleh enzim protease sehingga
menghambat mutasi virus.
a.
Ritonafir mekanisme kerja, bekerja pada
tahap transisi.
b.
Resistensi, resistensi terhadap
ritonafir di sebab kan oleh mutasi awal pada protease kodon 82.
c.
Spectrum aktifitas, HIV(type1 dan
type2).
d.
Indikasi, infeksi hiv, dalam kombinasi
dengan anti-HIV lainnya.
e.
Dosis, per oral 1200mg per hari, ( 6
kapsul 100mg, 2x sehari bersama dengan makanan).
f.
Efek samping, mual, muntah, diare.
3.2.5 Viral
entry inhibitor
Enfuvirtid merupakan obat pertama yang masuk ke
dalam golongan viral enty inhibitor.Obat golongan ini bekerja dengan cara
menghambat fusi virus kesel.
3.2.5.1 Enfuvirtid
a)
Mekanisme kerja, menghambat masuknya
HIV-1 ke dalam sel dengan cara mengahambat fusi virus ke membran sel.
b)
Resistensi, perubahan gentik pada gp41
asam amino 36-41 menyebabkan resistensi terhadap enfuvirtid.
c)
Indikasi, terapi inveksi HIV-1 dalam kombinasi
dengan anti-HIV lainnya.
d)
Dosis, infuvirtid 90mg (1ml) 2x sehari
di injeksikan subkutan di lengan atas, bagian paha anterior atau di abdomen.
e)
Efek samping, efeksamping yang
terseri8ng adalah reaksi local seperti nyeri, eritema, ruritus, iritasi dan
kista.
3.2.6 Pengunaan klinis obat antivirus
Tujuan utama terapi virus pada pasien imunocompeten
adalah menurunkan tingkat keparahan penyakit dan komplikasinya, serta
menurunkan kecepatan dengan infeksi virus kronik, tujuan terapi anti virus
adalah mencegah kerusakan oleh virus ke organ fisaral, terutama hati, paru,
saluran cerna dan sistem saraf pusat(ssp).Beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan dalam penggunaan antivrus antara lain :
a) Lamanya
terapi
b) Pemberian
terapi tunggal atau kombinasi
c) Interaksi
obat
d) Kemungkinan
terjadinya resistensi
Uraian di bawah ini merupakan ringkasan penggunaan
anti virus dalam berbagai kondisi klinis
Herpes genetalia, 3 obat yg di gunakan untuk infeksi
herpes, herpes genetalia adalah arsik lovir,
valisiklovir,dan famsiklovir,
asiklovir merupakan satu2nya obat yg terdapat dalam sedian intrafena . umumnya
,pilihan untuk pasien infeksi herpes primer dan semua pasiaen dengan inveksi rekurel adalah trapi oral.
Herpes mukokutan. saat ini asiklovir intravena diangap sebagai standar pencegahan dan trapi inveksi herpes simplks yang
bersifat invasis pada jaringan
padapasien immunocompromised. Studi
klinis membuktikan bahwa asiklovir dapat
menekan reaktifasi inveksi mukokutan
oleh herpes sipleks pada pasien yang menerima transplantasi sumsum tulang.
Herpes neonatal, infeksi herpes neonatal merupakan
kondisi yang sulit untuk diterapi. Terapi pilihan untuk kondisi ini adalah
asiklovir intravena, namun mortalitas tetap tinggi kecuali pada bayi yang
penyakitnya terbataspada kulit, mata, atau mulut.
Herpes ensefalitis, terapi pilihan untuk herpes
ensefalitis adalah asiklofir intra vena adalah, yg lebih berguna jika di
berikan pada pasien yg berada dalam keadaan koma. Sering kali di butuhkan
terapi yang lebih panjang hingga 21 hari karena terdapat kemungkinan ke kambuhan.
Cacar air. Terapi dengan asiklofir di anjurkan dalam
jangka waktu 24 jam setelah munculnya ruang. Terapi yang di berikan secara dini
akan menurunkan keparahan hingga 25-30%. Terapi chickenpox. Juga di perlu pada
dewasa penting diberikan karena tingkat keparahannya lebih tinggi jika di
bandingkan anak-anak.
Herpes zoster. Alasan yang mendorong terapi herpes
zoster dengan anti virus adalah untuk mencegah nyeri hebat yang
tinggal-postherpetic neuralgia-yang merupakan komplikasi yang umum, terutama
pada pasien yang umur lebih dari 50 tahun.
Infeksi saluran nafas oleh antivirus amantadin dan
rimintadin menurunkan tingkat keparahan dan menurunkan keparahan influenza A
jika diberikan pada pasien dewasa dalam jangka waktu 48 jam setelah tampah
gejala awal penyakit. Tidak di ketahui apakah obat ini dapat mencegah
komplikasi influenza. Kedua obat ini juga merupakan profilaksis yang efektif
untuk influenza A.
Avian influenza
Zanamivir dan oseltamivir hingga saat ini merupakan
satu satunya pilihan terapi atau profil laksis untuk infeksi virus H5N1. Namun
belum lama ini terdapat laporan adanya isolat virus H5N1 yang resisten terhadap
oseltamifir di vietnam. Dosis optimal dan lama terapi dengan neuraminidase
inhibitor sampai saat ini belum diketahui secara pasti namun sedikitnya sama
dengan regimen dosis yang telah di setujui.
Severe acute respiratory syndrome (SARS), sampai
saat ini belum cukup data serta bukti untuk menajemen pasien sars. Pada pasien
yang mungkin kemungkinan SARS, kebannyakan klinikus merupakan regimen standar
anti bakteri untuk comunity-acuiered pneumonia,, dan beberapa menambahkan
neuraminidase inhibitor untuk mengatasi influenza A dan B.
Antivirus untuk HBV DAN HCV kronis, memiliki resiko
tinggi untuk terjadi sirosis atau bahkan karsinoma hepatoselular terapi antivirus untuk mencegah
pasien mengalami sirosis atau karsioma hepatoselular. Tujuan pemberian
antivirus idealnya adalah eradikasi virus.
Namun, jika hal ini tidak di capai, maka di harapkan adanya sepresi
virus yang harus terus menerus. Hingga saat ini hanya 3 virus yang telah
disetujui untuk terapi infeksi kronik yaitu interveron, lamividin , dan
adefofir.
HIV AIDS dalam beberapa tahun terakhir,
penatalaksanaan klinis HIV-AIDS di negara maju berubah drastis dengan
tersediaanya berbagi obat antiretrovirus.terapi HIV-AIDS dilakukan dengan cara
mengkombinasikan beberapa obat untuk mengurangi viral load (jumlah virus dalam
darah)agar menjadi sangat rendah atau di bawah tingkat yang dapat terdeteksi
untuk jangka waktu yang lama.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Obat yang digunakan untuk tuberkulosis
digolongkan menjadi dua kelompok yaitu kelompok obat lini –pertama dan obat
lini-kedua. Kelompok obat lini pertama, yaitu isoniazid,rimfapisin, etambutol,
streptomisin, dan pirazinamid. Antituberkulosis lini kedua adalah antibiotik
golongan fluorokuinolon (siprofloksasin, ofokslasin, levofloksasin),
sikloserin, etionamid, amikasin, kanamisin, kapreomisin, dan paraaminosalisila.
Obat untuk mengatasi penyakit lepra
disebut Antilepra, yang termasuk golongan antilepra adalah sulfon, rimfapisin,
klofiazimin, amitiozon, dan obat lainnya seperti (tiambutosin “Digunakan untuk
pasien yang tidak tahan terhadap efek
samping dapson”, Talidomid “Untuk mengobati eritema nodosum leprosum”). Dalam
masalah ini WHO menganjurkan penggunaan kombinasi 3 obat sekaligus yaitu
dapson, rifampisin dan klofazimin.
Ada dua besar obat antivirus yaitu
antinonretrovirus dan antiretrovirus. Golongan Antinonretrovirus, yaitu
antivirus untuk herpes, antivirus untuk influensa, antivirus untuk HBV dan HCV.
Antiretrovirus , yaitu NRTI, NtRTI, NNRTI, PI, dan Viral entry inhibitor.
B. SARAN
Saran saya kepada si pembaca jangan lupa memperhatikan
lima benar dalam pemberian obat yaitu pasien yang benar, Obat yang benar, Dosis yang
benar,
Cara / rute pemberian yang benar,
Waktu pemberian yang benar,
agar Efek
terapi yang diinginkan mendapati kemungkinan terjadinya dibandingkan efek
toksiknya. Itulah saran dari saya, kiranya dengan apa yang kami tulis dan
sampaikan ini bisa bermanfaat sebagaimana kebaikkannya.
DAFTAR
PUSTAKA
American medical
association. Drug Evaluations Annual 1995. P. 1689.
Chambers HF.
Antimycobacterial drug. In: Katzung BG, ed. Basic & clinical pharmacology.
9th ed. Singapore: McGraw-Hill; 2004. P. 782-791.
Document
WHO/CDS/TB/2000, 279.
Petri
WA. Jr. Chemotherapy of tuberculosis, Mycobacterium avium complex disease, and
leprosy. In: Brunton LL, Lazo JS, Parker KL, eds. Goodman & Gilman’s the
pharmacological Basis of Therapeutics. 11th ed. New York: MCGraw-Hill; 2006. P.
1203-23.
WHO/CDC/TB/2003,313.
Treatment of tuberculosis: guidelines for national programmes, 3rd edition.
Revision approved by STAG,June 2004.
I have been on blog Sites for a while now and today I felt like I should share my story because I was a victim too. I had HIV for 6 years and I never thought I would ever get a cure I had and this made it impossible for me to get married to the man I was supposed to get married to even after 2 years of relationship he broke up with me when he found out I was HIV positive. So I got to know about Dr. Itua on Blog Site who treated someone and the person shared a story of how she got cured and let her contact details, I contacted Dr. Itua and he actually confirmed it and I decided to give a try too and use his herbal medicine that was how my burden ended completely. My son will be 2 soon and I am grateful to God and thankful to his medicine too.Dr Itua Can As Well Cure The Following Disease…Alzheimer’s disease,Bechet’s disease,Crohn’s disease,Parkinson's disease,Schizophrenia,Lung Cancer,Breast Cancer,Colo-Rectal Cancer,Blood Cancer,Prostate Cancer,siva.Fatal Familial Insomnia Factor V Leiden Mutation ,Epilepsy Dupuytren's disease,Desmoplastic small-round-cell tumor Diabetes ,Coeliac disease,Creutzfeldt–Jakob disease,Cerebral Amyloid Angiopathy, Ataxia,Arthritis,Amyotrophic Lateral Scoliosis,Fibromyalgia,Fluoroquinolone Toxicity
BalasHapusSyndrome Fibrodysplasia Ossificans ProgresSclerosis,Seizures,Alzheimer's disease,Adrenocortical carcinoma.Asthma,Allergic diseases.Hiv_ Aids,Herpe ,Copd,Glaucoma., Cataracts,Macular degeneration,Cardiovascular disease,Lung disease.Enlarged prostate,Osteoporosis.Alzheimer's disease,
Dementia.Lupus.
,Cushing’s disease,Heart failure,Multiple Sclerosis,Hypertension,Colo_Rectal Cancer,Lyme Disease,Blood Cancer,Brain Cancer,Breast Cancer,Lung Cancer,Kidney Cancer, HIV, Herpes,Hepatitis B, Liver Inflammatory,Diabetes,Fibroid, Get Your Ex Back, If you have (A just reach him on drituaherbalcenter@gmail.com Or Whatsapp Number.+2348149277967)He can also advise you on how to handle some marital's issues. He's a good man.
Jackpot city online casino site - LuckyClub
BalasHapusLucky club casino site is a safe and secure site, as well as reliable and secure 카지노사이트luckclub as a safe place to play. Sign up at the site today to get your bonus!