Sabtu, 16 Mei 2015

MAKALAH TUBERCULOSTATIK , LEPROSTATIK, DAN ANTIVIRUS



MAKALAH
TUBERCULOSTATIK , LEPROSTATIK,
DAN ANTIVIRUS

 


DISUSUN OLEH:

CRISTHI JUNYATI MADJENI
ERIK SETIADI ARAHMAN
IBNU TEGUH
NURKOSIM SUTARSO
RAHAYU INDRAWATI
YUYUN NURFITRI

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KADIRI
2014/2015



DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ..............................................................................................         
KATA PENGANTAR ...............................................................................         

BAB I
PENDAHULUAN .....................................................................................         
1.      LATAR BELAKANG ...................................................................         
2.      RUMUSAN MASALAH ...............................................................         
3.      TUJUAN .........................................................................................         

BAB II
PEMBAHASAN ........................................................................................         
       I.            TUBERCULOSTATIK ..................................................................         
1.1  ISONIAZID.............................................................................         
1.2  RIFAMPISIN ..........................................................................         
1.3  ETAMBUTOL .........................................................................         
1.4  PIRAZINAMID ......................................................................         
1.5  STREPTOMISIN ....................................................................         
1.6  ASAM PARAMINOSALISILAT ..........................................         
1.7  SIKLOSERIN .........................................................................         
1.8  ETIONAMID ..........................................................................         
1.9  KAPREOMISIN .....................................................................         
1.10PENGOBATAN TUBERCULOSIS ......................................         
    II.            LEPROSTATIK .............................................................................         
2.1  SULFON .................................................................................         
2.2  RIFAMPISIN ..........................................................................         
2.3  KLOFAZIMIN ........................................................................         
2.4  AMITOZON ............................................................................         
2.5  OBAT OBAT LAIN ...............................................................         
2.6  PENGOBATAN LEPRA ........................................................         
 III.            ANTIVIRUS ..................................................................................         
3.1   ANTINONRETROVIRUS ....................................................         
3.1.1ANTIVIRUS UNTUK HERPES ...........................................         
3.1.2ANTIVIRUS UNTUK INFLUENZA ...................................         
3.1.3ANTIVIRUS UNTUK HBV DAN HCV .............................         
3.2   ANTIRETROVIRUS .............................................................         
3.2.1 NRTI........................................................................................         
3.2.2 NTRTI .....................................................................................         
3.2.3 NNRTI ....................................................................................         
3.2.4 PI .............................................................................................         
3.2.5 VIRAL ENTRY INHIBITOR ...............................................         
3.2.6 PENGGUNAAN KLINIS ANTIVIRUS ..............................         

BAB III 
PENUTUP ..................................................................................................          
 A.   KESIMPULAN ..............................................................................         
 B.     SARAN ..........................................................................................         
 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................








KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini berjudul “TUBERCULOSTATIK, LEPROSTASIK, DAN ANTI VIRUSMakalah ini diajukan untuk memenuhi tugas ilmu dasar keperawatan tiga .
            Dalam menyelesaikan makalah ini kami telah mendapatkan bantuan dan bimbingan serta dukungan moril dari berbagai pihak, oleh sebab itu kami mengucapkan terima kasih.
            Kami menyadari sepenuhnya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, kaarena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan.
            Akhir kata kami mengucapkan terima kasih.

Kediri, Mei 2015

                                    Penyusun





BAB I
PENDAHULUAN 
1.      Latar belakang
Anti tuberculosis adalah obat – obatan kombinasi obat yang diberikan dalam jangka waktu tertentu untuk mengobati penderita tuberculosis.
Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Micobakterium tuberculosis, yang pada umumnya dimulai dengan membentuk benjolan-benjolan kecil di paru-paru dan ditularkan lewat organ pernapasan. Kuman TBC pertama kali di temukan oleh dr. Robert Koch (1982). Bakteri ini merupakan bakteri basil yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih sering menginfeksi organ paru-paru dibandingkan bagian lain tubuh manusia.Bagian tubuh manusia selain paru paru yang dapat terinfeksi Micobakterium tuberculosis ialah ginjal, tulang dan usus.
Konon kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh peradaban Tiongkok Kuna, Mesir Kuna, dan India. Pada 1995, Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ) memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta. Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang perlu dan tidak etis beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan diberbagai belahan dunia, seperti di India dan Vietnam.
        Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akhir 1940-an dengan diperkenalkan dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar. Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat  pada awal 1980-an dan penyakit ini pun mampu ditangani kembali.
Selama bertahun-tahun mendapatkan tangapan bahwa sangatlah sulit untuk mendapatkan kemotrapi antivirus dengan sektifitas  yang tinggi.  Siklus  replikasi virus  yang dianggap sangatlah  mirip dengan metabolisme normal manusia menyebabkan sebuah usaha untuk menekan reproduksi virus juga dapat membahayakan sel terinfeksi. Bersamaan dengan perkembangannya ilmu pengetahuan dan pengertian yang lebih dalam melalui tahap-tahap spesifik dalam replikasi virus sebagai kemotrapi anti virus, semakin jelasbahwa kemotrapi antivirus dapat dicapai dan reproduksi virus dapat ditekan dengan efek yang minimal pada sel hospes.
Siklus replikasi ini secara garis besar dapat  di bagi menjadi  10 langkah: Adsorpsi virus ke sel, penetrasi virus ke sel, transkripsi tahap awal,  translasi tahap awal,  replikasi genom virus, transskripsi terhadap akhir, assembly virus, dan pengelepasan virus. HIV juga mengelami tahap-tahap diatas dengan beberapa modefikasi yaitu pada tahap ke-4 yang diganti dengan tahap ke-5 dan di ganti dengan integrasi dan tahap akhir terjadi berproses dan disebut bunding dan diikuti dengan maturasi virus. Semua tahap ini dapat menjadi target inveksi kemotrapi.
2.      Rumusan masalah
(1)   Apa saja obat obat tuberculosis?
(2)   Bagaimana farmakokinetik, indikasi, efek samping, dosis dan sediaan obat tuberculostatik?
(3)   Apa saja obat obat lepra?
(4)   Bagaimana farmakokinetik, indikasi, efek samping, dosis dan sediaan obat leprostatik?
(5)   Apa saja obat anti virus?
(6)   Bagaimana farmakokinetik, indikasi, efek samping, dosis dan sediaan obat anti virus?
3.      Tujuan
1)      Untuk memenuhi tugas farmakologi.
2)    Untuk mengetahui macam macam obat tuberculosis, farmakokinetik obat, efek samping obat, dan indikasi obat.
3)      Untuk mengetahui obat obat lepra, farmakokinetik obat, efek samping obat, dan indikasi obat.
4)      Untuk mengetahui obat obat anti virus, farmakokinetik obat, efek samping obat, indikasi obat.







BAB II
PEMBAHASAN
I.            Tuberkulostatik
Obat yang digunakan untuk tuberkulosis digolongkan atas dua kelompok yaitu kelompok obat lini-pertama dan obat lini-kedua.
Kelompok obat lini pertama, yaitu isoniazid, rifampisin, etambutol, streptomisin, dan pirazinamid, memperlihatkan efektivitas yang tinggi dengan toksisitas yang dapat diterima. Toksik itu sendiri adalah keracunan. Sebagian besar pasien dapat disembuhkan dengan obat obat ini. Walaupun demikian, kadang terpaksa digunakan obat lain yang kurang efektif karena pertimbangan resistensi atau kontra indikasi pada pasien. Resistensi adalah bila pertumbuhan bakteri tidak dapat dihambat oleh antibiotik pada kadar maksimal yang dapat di tolerir host.
Anti tuberkulosis lini-kedua adalah anti biotik golongan fluorokuinolon (siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin), sikloserin, etionamid, amikasin, kanamisin, kapreomisin, dan paraminosalisilat.
1.1     Isoniazid
Isoniazid atau isonikotinil hidrazid yang sering disingkat dengan INH, hanya satu derivatnya yang diketahui dapat menghambat kuman tuberkulosis, yakni iproniazid tetapi dalam penggunaannya obat ini terlalu toksik untuk manusia.


1.1.1 Efek antibakteri
Isoniazid secara in vitro bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosid dengan kadar hambat minimum sekitar .  Pembelahan kuman masih berlangsung 2 sampai 3 kali sebelum dihambat sama sekali. Efek bakterisidnya hanya terlihat pada kuman yang sedang tumbuh aktif. Mikroorganisme yang sedang istirahat mulai lagi dengan pembelahan biasa bila kontaknya dengan obat dihentikan. Diantara mikro bakteria atipik biasanya hanya M. Kansasi yang peka terhadap isoniazid, tetapi sensitivitasnya harus selalu diuji secara in-vitro karena kuman ini memerlukan kadar hambat yang lebih tinggi.
1.1.2  Mekanisme kerja
                        Mekanisme kerja isoniazid belum diketahui, tetapi ada beberapa hipotesis yang diajukan, diantaranya efek pada lemak, bio-sistesis asam nukleat, dan glikolisis. Ada pendapat bahwa efek utamanya ialah menghambat biosintesis asam mikolat yang merupakan unsur penting dinding sel mikobakterium. Isoniazid kadar rendah mencegah perpanjangan rantai asam lemak yang sangat panjang yang merupakan bentuk awal molekul asam mikolat. Isoniazid  menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yang terekstraksi oleh methanol dari mikobakterium. Hanya kuman peka yang menyerap obat ke dalam selnya, dan ambilan ini merupakan proses aktif.
1.1.3  Resistensi
                      Petunjuk yang ada memberikan kesan bahwa mekanisme terjadinya resistensi berhubungan dengan kegagalan obat mencapai kuman atau kuman tidak menyerap obat. Penggunaan INH juga dapat menyebabkan timbulnya strain baru yang resisten. Perubahan sifat dari sensitif menjadi resisten biasanya terjadi dalam beberapa minggu setelah pengobatan dimulai. Waktu yang diperlukan untuk timbulnya resistensi berbeda pada kasus yang berlainan.
1.1.4 Farmakokinetik
Isoniazid mudah diabsorbsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kadar puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. Di hati, isoniazid terutama mengalami asetilasi dan pada manusia kecepatan metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik yang secara bermakna mempengaruhi kadar obatdalam plasma dan masa paruh. Masa paruh obat ini dapat memanjang bila terjadi insufisiensi hati. Perlu ditekankan bahwa asetilasi tidak berpengaruh pada efektivitas dan toksisitas isoniazid bila obat ini diberikan setiap hari. Tetapi, bila pasien tergolong asetilator cepat dan mendapat isoniazid semingggu sekali maka penyembuhannya mungkin kurang baik. Asetilator cepat didapatkan pada orang ekskimo, jepang, sedangkan asetilator lambat terdapat pada orang skandavia, yahudi dan orang kaukasia afrika utara.
Isoniazid mudah berdifusi kedalam sel dan cairan tubuh. Obat terdapat dalam kadar yang cukup di dalam cairan pleura, dan cairan asites. Kadar dalam cairan serebrospinal pada radang slaput otak kira kira sama dengan kadar dalam cairan plasma. Isoniazid mudah mencapai material kaseosa. Kadar obat ini pada mulanya lebih tinggi dalam plasma dan otot daripada dalam jaringan yang terinfeksi tetapi kemudian obat tertinggal lama di jaringan yang terinfeksi dalam jumlah yang lebih dari cukup sebagai bakteriostatik.
Antara 75-95% isoniazid di ekskresikan melalui urin dalam waktu 24 jam dan hampir seluruhnya dalam bentuk metabolit. Ekskresi terutama dalam bentuk asetil isoniazid yang merupakan metabolit proses asetilasi, dan asam isonikotinat yang merupakan metabolit proses hidrolisis. Sejumlah kecil diekskresi dalam bentuk isonikotinil glisin dan isonikotil hidrazon, dan dalam jumlah yang kecil sekali N-metil isoniazid.
1.1.5    Efek samping
reaksi hipersensivitas mengakibatkan demam, berbagai kelainan kulit berbentuk morbilifor, makulopapuler, dan urtikaria. Reaksi hematologik dapat juga terjadi seperti agranulusitosis, eosinofila, trombositopenia, dan anemia.  Vaskulitas yang berhubungan dengan antibodi antinuklear dapat terjadi selama pengobatan, tetapi menghilang apabila obat dihentikan. Gejala arthritis juga dapat terjadi seperti sakit pinggang; Sakit sendi interfalang proksimal bilateral; atralgia pada lutut, siku dan pergelangan tangan.
Neuritis perifer paling banyak terjadi dengan dosis isoniaz 5 mg/kgBB/hari Bila pasien tidak diberikan pirodikson frekuensinya mendekati 2%. Bila diberikan dosis lebih tinggi, pada sekitar 10% sampai 20% pasien dapat terjadi neuritis perifer. Profilaksis dengan pemberian pirodiksin mencegah terjadinya neuritis perifer dan juga berbagai gangguan sistem saraf yang mungkin terjadi termasuk akibat pengobatan yang berjangka sampai 2 tahun.
Perubahan neuropatologik yang berhubungan dengan efek sampingg antara lain menghilangnya vesikel sinaps, membengkaknya mitokondria dan pecahnya akson terminal. Biasanya juga terjadi perubahan pada ganglia didaerah lumbal dan sakrum. Pemberian pirodiksin sangat bermanfaat untuk mencegah perubahan tersebut. Pada pemberian isoniazid, ekskresi pirodiksin meningkat dan konsentrasinya dalam plasma menurun sehingga memberi gambaran seperti defisiensi pirodiksin neuropati lebih sering terjadi pada pasien asetilator lambat, pasien DM, nutrisi buruk atau anemia.
Isoniazid dapat mencetuskan terjadinya kejang pada pasien dengan riwayat kejang. Neuritis optik dengan artopi dapat juga terjadi. Gambaran lain neurorotoksia ialah kedut otot vertilago, ataksia, parestasia, stupor dan ensafalopatik toksik yang berakhir fatal.  Kelainan mental dapat juga terjadi selama menggunakan obat ini diantaranya euphoria, kurangnya daya ingat sementara, hilangnya pengendalian diri, dan psikosis.  Sedasi yang berlebihan dapat muncul bila isoniazid diberikan bersama fenitoin karena isoniazid menghambat parahidroksilasi antikonvulsan tersebut. Efek samping ini terutama terjadi pada pasien asetilator lambat, sehingga perlu dilakukan monitor kadar fenitoin dalam darah dan kemudian dilakukan penyesuaian dosis bila diperlukan. Dosis INH tidak boleh diubah.
Isoniazid dapat menimbulkan ikterus dan kerusakan hati yang fatal akibat terjadinya nekrosis multiholur. Penggunaan obat ini pada pasien yang menunjukan adanya kelainan funngsi hati menyebabkan bertambah parahnya kerusakan hati.
Efek samping lain yang terjadi ialah mulut terasa kering, rasa tertekan pada ulu hati, methernoglobinemia, tinitus, dan retensi urin. Bila pasien sebelumnya telah mempunyai predisposisi defisiensi piridoksin, pemberian INH dapat menimbulkan anemia. Pengobatan dengan vitamin B6 dosis besar akan menyebabkan gambaran darah normal kembali.
Dosis isoniazid yang berlebih misalnya karena usaha bunuh diri menyebabkan koma, kejang-kejang, asidosis metabolik, dan hiperglikemi. Piridoksin digunakan sebagai antidtnya dengan dosis sesuai dengan besarnya dosis INH yang ditelan.
1.1.6 Status dalam pengobatan
Isoniazid merupakan obat yang sangat penting untuk mengobati semua tipe tuberkulosis. Efek samping dapat dicegah dengan pemberian pirodiksin dan pengawasan cermat pada pasien. Untuk tujuan terapi, obat ini harus digunakan bersama obat lain. Untuk tujuan pencegahan dapat diberikan tunggal.
1.1.7 Sediaan dan posologi
Isoniazid terdapat dalam bentuk tablet 50,100,300, dan 400 mg serta sirup 10 mg/mL. Dalam tablet kadang-kadang telah ditambahkan vitamin B6. Isoniazid biasanya diberikan dalam dosis tunggal per orang tiap hari. Dosis biasanya 5 mg/kgBB, maksimum 300 mg/hari. Untuk tuberkulosis berat dapat diberikan 10 mg/kgBB, maksimum 600 mg/hari, tetapi tidak ada bukti bahwa dosis demikian besar ini lebih efektif. Anak dibawah 4 tahun dosisnya 10 mg/kgBB/hari. Isoniazid juga dapat diberikan intermiten 2 kali seminggu dengan dosis 5 mg/kgBB/hari. Pirodiksin diberkan dalam dosis 10 mg/hari.
1.2     Rifampisin
     Rifampisin adalah derivat semisintetik nifamisin B yaitu salah satu anggota kelompok antibiotik makrosiklik yang disebut rifamisin. Kelompok zat ini dihasilkan oleh streptomyces mediterannei. Obat ini merupakan ion zwittler, larut dalam pelarut organik dan air yang Ph nya asam. Derivat rifamisin lainnya ialah rifabutin dan rifapentin.
1.2.1  Aktivitas antibakteria
Rifampisin menghambat pertumbuhan berbagai kuman gram positif mmaupun gram negatif. Terhadap kuman gram positif kerjanya tidak sekuat penisilin G, tetapi sedikit lebih kuat dari eritomisin dan sefalotin. Terhadap kuman gram negatif kerjanya lebih lemah dari tetrasiklin, kloramfenikol, kanamisin, dan sefalotin. Antibiotik ini sangat aktif terhadap N. meningitides; kadar hambat minimalnya berkisar antara 0,1-0,8 mg/mL. Obat ini dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis virus.
In vitro, rifampisin dalam kadar 0,995-0,2 mg/mL dapat menghambat pertumbuhan M. tuberculosis. Diantara mikobakteria atipik, M. kansasi dihambat pertumbuhannya dengan kadar 0,25-1 mg/mL. Sebagian besar turunan M. serofuloceum dan M. intraseluler dihambat dengan kadar  mg/mL, tetapi beberapa jalur baru dihambat bila kadar melebihi 16 mg/mL. M. fortuitum sangat resisten terhadap obat ini. In vitro, rifampisin meningkatkan aktivitas streptomisin dan isoniazid terhadap M. tuberculosis, tetapi tidak bersifat adiktif terhadap etambutol.
1.2.2  Mekanisme kerja
Rifampisin terutama aktif terhadap sel yang sedang bertumbuh. Kerjanya menghambat DNA-dependent RNA polymerase dari mikobakteria dan mikroorganisme lain dengan menekan mula terbentuknya (bukan pemanjangan) rantai dalam sintesis RNA. Inti RNA polymerase dari berbagai sel eukariotik tidak mengikat rifampisin dan sintesis RNAnya tidak dipengaruhi. Rifampisin dapat menghaambat sintesis RNA mitokondria mamalia tetapi diperlukan kadar yang lebih tinggi dari kadar untuk penghambatan pada kuman.
1.2.3  Farmakokinetik
            Pemberian rifampisin peroral menghasilkan kadar puncak dalam plasma setelah 2-4 jam, dosis tunggal sebesar 600 mg menghasilkan kadar sekitar 7 mg/ml. Asam para amino salisilat dapat memperlambat absorpsi rifampisin, sehingga kadar terapi rifampisin dalam plasma tidak tercapai. Bila rifampisin harus digunakan bersama para amino salisilat maka pemberian keduanya harus berjarak waktu 8-12 jam.
Setelah diserap dari saluran cerna, obat ini cepat diekskresi melalui empedu dan kemudian mengalami sirkulasi enterophatik. Penyerapannya dihambat oleh adanya makanan, sehingga dalam waktu 6 jam hampir semua obat yang berada dalam empedu berbentuk deasetil rifampisin yang menyebabkan induksi metabolisme, sehingga walaupun bioavailibitasnya tinggi, eliminasinya meningkat pada pemberian berulang. Masa paruh eliminasi rifampisin bervariasi antara 1,5 sampai 5 jam dan akan memanjang bila ada kelainan fungsi hepar. Pada pemberian berulang masa paruh ini memendek sampai kira kira 40% dalam waktu 14 hari. Pada pasien asetilator lambat masa paruh memendek bila rifampisin diberikan bersama isoniazid. Sekitar 75% rifampisin terikat pada protein plasma. Obat ini berdifusi baik keberbagai jaringan termasuk ke cairan otak. Luasnya distribusi ini tercermin dari warna merah pada urin, tinja, sputum, airmata, dan keringat pasien. Ekskresi melalui urin mencapai 30%, setengah merupakan rifampisin utuh sehingga pasien gangguan fungsi ginjal tidak memerlukan penyesuaian dosis. Obat ini juga dieliminasi lewat ASI.
Rifampisin didistribusi keseluruh tubuh. Kadar efektif dicapai dalam berbagai organ dan cairan tubuh, termasuk cairan otak. Luasnya distribusi rifampisin tercermin dengan warna merah jingga pada urin, tinja, ludah, sputum, air mata dan keringat. Pasien harus tahu akan hal pewarnaan ini.
1.2.4  Efek samping
            Rifampisin jarang menimbulkan efek samping. Dengan dosis biasa, kurang dari 4% pasien tuberculosis mengalami efek toksis. Yang paling sering adalah ruam kulit, demam, mual dan muntah.  Pada pemberian berselang dengan dosis besar sering terjadi flu like syndrome, nefritis intertisial, nekrosis tubular akut, dan trombositopenia.
Berbagai keluhan yang berhubungan dengan sistem saraf seperti rasa lelah, mengantuk, sakit kepala, pening, ataksia, bingung, sukar berkonsentrasi, sakit pada tangan dan kaki, dan melemahnya otot dapat juga terjadi.
Reaksi hipersensitivitas dapat berupa demam, pruritus, urtikaria, berbagai macam kelainan kulit, eosinofilia, dan rasa sakit pada mulut dan lidah. Hemolisis, hemoglobulina, hematuria, insufisiensi ginjal dan gagal ginjal akut juga merupakan reaksi hipersensitivitas, tetapi jarang terjadi.
Trombositopenia, leukopenia sementara, dan anemia dapat terjadi selama terapi berlangsung. Efek teratogenik rifampisin tidak diketahui, tetapi lebih baik menghindari penggunaan obat ini semasa kehamilan, karena obat ini dapat menembus sawar uri.
1.2.5    Interaksi obat
Pemberian PAS bersama rifampisin akan menghambat absorbsi rifampisin sehingga kadarnya didalam darah tidak cukup. Rifampisin merupakan pemacu metabolisme obat yang cukup kuat, sehingga berbagai obat hplogekemik oral, kortikosteroid, dan kontrasepsi oral akan berkurang efektivitasnya bila diberikan bersama rifampisin.
1.2.6    Status dalam pengobatan
Rifampisin merupakan obat yang sangat efektif untuk pengobatan tuberculosis dan sering digunakan bersama isoniazid untuk terapi tuberkulosis jangka pendek. Efek sampingnya beraneka ragam, tetapi jangan sampai menghentikan terapi.
1.2.7    Sedian dan posologi
Rifampisin diindonesia terdapat dalam bentuk kapsul 150mg dan 300 mg. Selain itu, terdapat pula tablet 450mg dan 600 mg serta suspensi yang mengandung 100mg/5mL rifampisin. Beberapa sediaan telah dikombinasi dengan isoniazid. Obat ini biasanya diberikan sehari sekali sebaiknya satu jam sebelum makan dan dua jam sesudah makan. Dosis untuk orang dewasa dengan berat badan kurang dari 50 kg ialah 450 mg/hari dan berat badan lebih dari  50 kg ialah 60 mg/hari. Untuk anak anak doasisnya 10-20 mg.kg/BB perhari dengan dengan dosis maksimum 600 mg/hri.
1.3       Etambutol
1.3.1    Aktivitas antibakteri
Hampir semua galur M. tuberculosis dan M. kansasi sensitif terhadap etambutol. Etambutol tidak efektif untuk kuman lain. Obat ini tetap menekan pertumbuhan kuman tuberkulosis yang telah resisten terhadap isoniazid dan streptomisin. Kerjanya menghambat sintesis metabolit sel sehingga metabolisme sel terhambat dan sel mati. Karena itu obat ini hanya aktif terhadap sel yang bertubuh dengan khasiat tuberkulostik.
1.3.2    Farmakokinetik
Pada pemberian oral sekitar 75-80% etambutol diserap dari saluran cerna. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 2-4jam setelah pemberian. Dosis tunggal 15 mg/kgBB menghasilkan kadar dalam plasma sekitar 5 mg/mL pada 2-4jam. Masa paruh eliminasinya 3-4jam. Kadar etambutol dalam eritrosit 1-2 kali kadar  dalam plasma. Oleh karena itu eritrosit dapat berperan sebagai depot etambutol yang kemudian melepaskannya sedikit demi sedikit kedalam plasma.
Dalam waktu 24 jam, 50% etambutol yang diberikan diekskresikan dalam bentuk asal melalui urin, 10% sebagai metabolit, berupa derivat aldehid dan asam karboksilat. Kliren ginjal untuk  etambutol kira kira 8,6 ml/menit/kg menandakan bahwa obat ini selain mengalami filtrasi glomerulus juga disekresi melalui tubuli. Etambutol tidak dapat menembus sawar darah otak, tetapi pada meningitis tuberkulosa dapat ditemukan kadar terapi dalam cairan otak.
1.3.3    Efek samping
Etambutol jarang menimbulkan efek samping. Dosis harian sebesar 15mg/kgBB menimbulkan efek toksik yang minimal. Pada dosis ini kurang dari 2% pasien akan mengalami efek samping yaitu penurunan ketajaman pengelihatan, ruam kulit, dan demam. Egek samping lain ialah pruritus, nyeri sendi, gangguan saluran cerna, malaise, sakit kepala, pening, bingung, disorientasi, dan mungkin juga halusinasi. Rasa kaku dan kesemutan dijari sering terjadi. Reaksi anafilaksis dan leukopenia jarang dijumpai.
Efek samping yang paling penting adalah gangguan pengelihatan, biasanya bilateral, yang merupakan neuritis retlobulbar yaitu berupa turunya ketajaman pengelihatan, hilangnya kemampuan membedakan warna, mengecilnya lapang pandangan, dan skotoma sentral maupun lateral. Insiden efek samping ini makin tinggi sesuai dengan peningkatan dosis, tetapi bersifat mampu pulih. Intensitas gangguanpun berhubungan dengan lamanya terapi. Dengan dosis 15 mg/kgBB tidak diperlukan pemeriksaan oftalmologi berkala, tetapi pasien harus diingatkan untuk melaporkan setiap perubahan pengelihatan selama penggunaan etambutol. Bila ada keluhan pengelihatan kabur, sebaiknya dilakukan pemeriksaan lengkap. Bila pasien sudah menderita kelainan mata sebelum menggunakan etambutol perlu dilakukan pemeriksaan cermat sebelum terapi dengan etambutol dimulai.
Terapi etambutol menyebabkan peningkatan kadar asam urat darah pada 50% pasien. Hal ini disebabkan oleh penurunan  ekskresi asam urat  melalui ginjal. Efek samping ini mungkin diperkuat oleh isoniazid dan piridoksin.
1.3.4    Status dalam pengobatan
Etambutol telah berhasil digunakan dalam pengobatan tuberkulosis dan menggantikan tempat asam para amino salisilat karena tidak menimbulkan efek samping yang berbahaya serta dapat diterima dalam terapi. Manfaatnya yang utama dalam paduan terapi tuberkulosis ialah mencegah timbulnya resistensi kuman terhadap anti tuber kulosis lain.
1.3.5    Sediaan dan posologi
Diindonesia etambutol terdapat dalam bentuk tablet 250mg dan 500 mg, ada pula sediaan yang telah dicampur dengan isoniazid dalam bentuk kombinasi tetap. Dosis biasanya 15 mg/kgBB, diberikan sekali sehari, ada pula yang menggunakan dosis 25 mg/kgBB selama 60 hari pertama, kemudian diturunkan menjadi 15 mg/kgBB, pada pasien gangguan fungsi ginjal dosisnya perlu disesuaikan karena etambutol terakumulasi dalam badan.
1.4       Pirazinamid
Pirazinamid adalah analog nikotinamid yang telah dibuat sintetiknya. Obat ini tidak larut dalam air.
1.4.1    Aktivitas antibakteri
Pirazinamid didalam tubuh dihidrolisis oleh enzim pirazinamidase menjadi asam pirazinoat yang aktif sebagai tuberkulostatik hanya pada media yang bersifat asam. In vitro, pertumbuhan kuman tuberkulosis dalam monosit dihambat sempurna pada kadar pinazinamid 12,5mg/mL. Mekanisme kerja obat ini belum diketahui.
1.4.2    Farmakokinetik
Pirazinamid mudah diserap di usus dan tersebar luas ke seluruh tubuh. Dosis 1 gram menghasilkan kadar plasma sekitar 45mg/mL pada dua jam setelah pemberian obat. Ekskresinya terutama melalui filtrasi glomerulus. Asam pirozinoat yang aktif kemudian mengalami hidroksilasi menjadi asam hidropirozinoat yang merupakan metabolit utama. Masa paruh eliminasi obat ini adalah 10-16 jam.
1.4.3    Efek samping
Efek samping yang palinng umum dan serius adalah kelainan hati. Bila pirazinamid diberikan dengan dosis 3 g per hari, gejala penyakit hati muncul pada kira kira 15%, dengan ikterus pada 2-3% pasien dan kematian akibat nekrosis hati pada beberapa kasus. Gejala pertama adalah peninngkatan SGOT dan SGPT. Oleh karena itu hendaknya dilakukan pemeriksaan fungsi hati sebelum pengobatan dengan pirazinamid dimulai, dan pemantauan terhadap transminase serum dilakukan secara berkala selama pengobatan berlangsung. Jika jelas timbul kerusakan hati, zinamid tidak boleh diberikan kepada pasien dengan kelainan fungsi hati. Obat ini menghambat ekskresi asam urat dan dapat menyebabkan kambuhnya pirai. Efek samping lain ialah artalgia, anoreksia, mual dan muntah, juga disuria, malaise, dan demam.
1.4.4    Sediaan dan posologi
Pirazinamid terdapat dalam bentuk tablet 250mg dan 500mg. Dosis oral ialah 20-35 mg/kgBB sehari (maksimum 3 g), diberikan dalam satu atau beberapa perhari.
1.4.5    Status dalam pengobatan
Pirazinamid beberapa tahun yang lalu masih merupakan obat sekuknder yang digunakan bila ada resistensi atau kontraindikasi terhadap obat primer. Sejak pengobatan tuberkulosis menggunakan paduan pengobatan jangka pendek, kedudukan pirazinamid berubah menjadi obat primer, obat ini lebih aktif pada suasana asam dan merupakan bakterisid yang kuat untuk bakteri tahan asam yang berada dalam sel makrofag. Kini, bersama INH dan rifampisid, pirazinamid merupakan obat yang penting untuk diberikan pada awal pengobatan tuberkulosis.
1.5       Streptomisin
Streptomisin ialah antituberkulosis yang pertama yang secara klinik dinilai efektif. Namun sebagai obat tunggal, bukan obat yang ideal.


1.5.1    Aktivitas antibakteri
Streptomisin in vitro bersifat bakteriostatik dan bakterisid terhadap kuman tuberkulosis. Kadar serendah 0,4 mg/ml dapat menghambat pertumbuhan kuman. Sebagian besar M. tuberculosis strain human dan bovin dihambat dengan kadar 10mg/ml. Mikobakterium atipik foto kromatogen, skotokromatogen, nokromatogen, dan spesies yang tumbuh cepat tidak peka terhadap streptomisin. Adanya mikroorganisme yang hidup dalam asbes atau kelenjar limfe regional serta hilangnya pengaruh obat setelah beberapa bulan pengobatan, mendukung konsep bahwa kerja streptomisin in vivo ialah supresi, bukan eredikasi kuman tuberkulosis. Obat ini dapat mencapai kavitas, tetapi relatif sukar berdifusi ke cairan intrasel.
1.5.2    Resistensi
Dalam populasi yang besar selalu terdapat kuman yang resisten terhadap streptomisin. Resistensi ini mungkin disebabkan oleh mutasi yang terjadi secara kebetulan. Kemungkinan terjadi resistensi in vitro dan in vivo sama besar. Secara umum dikatakan bahwa makin lama trapi streptomisin berlangsung, makin meningkat resistensinya. Pada beberapa pasien resistensi ini terjadi dalam satu bulan. Setelah 4 bulan, 80% kuman tuberkulosis tidak sensitif lagi. Setengahnya tidak dapat dihambatdengan kadar 1000mg/ml. Bila kavitas tidak menutup atau spuktum tidak menjadi steril dalam 2-3 bulan, bakteri yang tertinggal telah resisten dan pengobatan tidak efektif lagi. Penggunaan streptomisin bersama antituberkulosis lain menghambat terjadinya resistensi. Tetapi hal ini tidak mutlak, pada pengobatan jangka lama dapat juga terjadi resistensi kuman terhadap kedua obat itu.
1.5.3    Farmakokinetik
Setelah di serap, hampir semua streptomisin berada dalam plasma. Hanya sedikit sekali yang masuk dalam eritrosit. Streptomisin kemudian menyebar hampir keseluruh cairan ekstra sel. Kira kira sepertiga streptomisin yang berada dalam plasma, terikat protein plasma. Streptomisin dieksresi melalui filtrat glomerulus. Kira kira 50-60% dosis streptomisin yang diberikan secara parental diekskresi dalam bentuk utuh dalam waktu 24 jam pertama. Sebagian besar jumlah ini dieksresi dalam waktu 12 jam. Masa paruh obat ini dalam orang dewasa normal antara 2-3 jam, dan dapat sangat memanjang pada gagal ginjal. Otottoksisitas lebih sering terjadi pada pasien yang fungsi ginjalnya terganggu.
1.5.4    Efek samping
Umumnya streptomisin dapat diterima dengan baik. Kadang kadang terjadi sakit kepala sebentar atau malaise. Parestesi dimuka terutama disekitar mulut serta rasa kesemutan ditangan tidak mempunyai arti klinisi yang penting. Reaksi hipersensitivitas biasanya terjadi di minggu pertama pengobatan. Streptomisin bersifat neurotoksin pada saraf kranial ke VIII, bila diberikan dalam dosis besar dan dalam jangka waktu yang lama. Walaupun demikian beberapa pasien yang baru mendapat dosis total 10-12 gram dapat mengalami gangguan tersebut. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan audiometrik basal dan berkala pada mereka yang mendapat streptomisin. Seperti aminoglikosida lainnya obat ini juga bersifat nefrotoksik. Ototoksisitas dan nefrotoksisitas ini sangat tinggi kejadiannya pada kelompok usia 65 tahun keatas. Oleh karena itu obat ini tidak boleh diberikan pada kelompok usia tersebut. Efek samping lain ialah reaksi anafilaktik, agranulositosis, anemia aplastik, dan demam obat. Belum ada data tentang efek teratogenik, tetapi pemberian obat pada trimester pertama tidak dianjurkan. Selain itu dosis total tidak boleh melebihi 20 gram dalam 5 bulan terakhir kehamilan untuk mencegah ketulian bayi.
1.5.5    Interaksi obat
Interaksi dapat terjadi dengan obat penghambat neuromuskuler berupa potensial penghambat. Selain itu interaksi juga terjadi dengan obat lain yang juga bersifat ototoksik (misalnya asal etakrinat dan furosemid) dan yang bersifat nefrotoksik.
1.5.6    Sediaan dan posologi
Streptomisin terdapat dalam bentuk bubuk injeksi dalam vial 1 dan 5 gram. Dosisnya 20mg/kgBB secara IM, maksimum 1 gram/hari selama 2 sampai 3 minggu . Kemudian frekuensi pemberian dikurangi menjadi 2-3 kali seminggu. Pasien dengan fungsi ginjal normal dapat menerima paduan ini untuk beberapa bulan. Dosis harus dikurangi untuk pasien usia lanjut, anak anak, orang dewasa yang  badannya kecil, dan asien dengan gangguan fungsi ginjal.
1.6       Asam paraaminosalisilat
Sebelum di temukan etambutol, PAS merupakan obat yang  sering dikombinasikan dengan antituberkulosis. \
1.6.1    Aktivitas antibakteri
Obat ini bersifat bakteriostatik. In vitro sebagian besar strain M. tuberculosis sensitif terhadap PAS dengan kadar 1 mg/ml. Aktivitas antimikroba PAS sangat spesifik terhadap M. tuberculosis saja. Sebagian mikobakterium antipik tidak dihambat oleh obat tersebut. Efektivitas obat ini kurang bila dibandingkan dengan streptomisin, isoniazid, dan rifampisin. Pengobatan dengan PAS saja manfaatnya sangat kecil.
1.6.2    Mekanisme kerja
PAS mempunyai rumus molekul yang mirip dengan asam para aminobenzoat (PABA). Mekanisme kerjanya sangat mirip dengan sulfonamide. Karena sulfonamide tidak aktif terhaadap tuberculosis dan PAS tidak efektif terhadap kuman yang sensitif terhadap sulfonamide, maka ada kemungkinan bahwa enzim yang bertanggung jawab untuk biosintesis folat pada berbagai macam mikroba bersifat spesifik.
1.6.3    Resistensi
Secara umum resistensi in vitro terhadap PAS lebih sukar terjadi dibandingkan streptomisin. Resistensi terhadap PAS juga terjadi pada pasien yang sedang dalam pengobatan, walaupun terjadinya lebih lambat ketimbang streptomisin.
1.6.4    Farmakokinetik
PAS mudah diserrap melalui saluran cerna. Obat ini mencapai kadar tinggi dalam berbagai cairan tubuh kecuali dalam cairan otak. Masa paruh obat sekitar satu jam. 80% PAS dieksresi melalui ginjal, 50% diantaranya dalam bentuk terasetilasi. Pasien dengan infusiensi ginjal tidak dianjurkan menggunakan PAS karena ekskresinya terganggu.
1.6.5    Efek samping
Insidens efek samping pada pemberian PAS hampir mencapai 10%, gejala yang agak menonjol ialah mual dan gangguan saluran cerna lainnya. Pasien tukak peptik tidak dianjurkan menggunakan obat ini. Reaksi hipersensitivitas umumnya terjadi dengan gambaran seperti demam, kelainan kulit yang disertai demam ataupun sakit sendi. Kelainan darah seperti leukoponia, agranulositopenia, eosinofilia, limfositosis, sindrom mononukleosis atipik,  dan trombositopenia pernah dilaporkan.
1.6.6    Sediaan dan posologi
PAS terdapat dalam bentuk tablet 500 mg yang diberikan dengan dosis oral 8-12 g sehari, dibagi dalam beberapa dosis.
1.7       Sikloserin
1.7.1    Aktivitas antibakteri
In vitro, sikloserin menghambat pertumbuhan M. tuerculosis pada kadar 5-20 mg/ml. Melalui penghambatan sintesis dinding sel. Jenis jenis yang sudah resisten terhadap streptomisin, PAS, INH, pirazinamid dan viomisin mungkin masih sensitif terhadap sikloserin.
1.7.2    Farmakokinetik
Setelah pemberian oral absorpsinya baik. Kadar puncak dalam darah dicapai 4-8 jam setelah pemberian obat. Dengan dosis 20 mg/kbBB diperoleh kadar dalam darah sebesar 20-35 mg/ml pada anak anak. Dengan dosis 750 mg tiap 6 jam pada orang dewasa akan diperoleh kadar lebih dari 50 mg/ml.
Distribusi dan difusi ke seluruh cairan dan jaringan tubuh baik sekali. Sawar darah otak dapat dilintasi dengan baik. Karena obat ini terkonsentrasi di urin, tidak diperlukan dosis besar untuk mengobati tuberculosis saluran kemih.
Ekskresi maksimal tercapai dalam 2-6 jam setelah pemberian obat dan 50% diekskresikan melalui urin dalam bentuk utuh selama 12 jam pertama. Bila ada insufisiensi ginjal, terjadi akumulasi obat dalam tubuh sehingga memperbesar kemungkinan reaksi toksik.
1.7.3    Sediaan dan posologi
Sikloserin dalam bentuk kapsul 250 mg, diberikan 2 kali sehari. Dengan dosis ini kemungkinan reaksi toksik kecil. Jika keadaan lebih berat, dapat diberikan dosis lebih besar untuk jangka waktu yang lebih singkat. Hasil terapi paling baik bila dicapai kadar lembah dalam plasma sebesar 25-30 mg/ml. Oleh karena itu sebaiknya kadar dalam plasma dipantau sewaktu waktu selama pengobatan. Sikloserin dosis besar (250-500mg tiap 6 jam) dapat digunakan dengan aman bila diberikan bersama piridoksin atau depresan SPP.
1.7.4    Efek samping
Efek samping yang paling sering timbul dalam penggunaan sikloresin ialah oada SSP dan biasanya terjadi dalam 2 minggu pertama pengobatan. Gejalanya ialah somnolen, sakit kepala, tremor, disantria, vertigo, gangguan tingkah laku, paresis, serangan psikosis akut, dan konvulsi. Serangan dapat menyerupai epilepsi grand mal atau epilepsi petit mal, dan insidennya berhubungan dengan dosis yang digunakan. Dosis 2menurunnkan dosis menjadi 500 mg sehari, insidennya mencolok turun. Risiko konvulsi bertambah bila sikloserin diberikan bersama etil alkohol.
Karena efek pada SSP itu sikloserin dikontraindikasikan bagi pasien epilepsi, dan mungkin berbahaya pada orang yang sedang depresi atau yang mengalami ansietas.
1.8       Etionamid
1.8.1    Aktivitas anti bakteri
In vitro, etionamid menghambat pertumbuhan M. tuberculosis jenis human pada kadar 0,9-2,5mg/ml. Basil yang sudah resisten terhadap tuberculostatik lain masih sensitif terhadap entionamid. Mikrobakterium jenis lain kurang sensitif terhadap etionamid. atau memperlukan kadar yang lebih tinggi. Obat ini sama efektifnya terhadap basil intrasel maupun ekstrasel.
Resistensi mudah terjadi bila dosis kurang tinggi atau obat ini digunakan sendiri, dan timbul lebih lambat jika dikombinasi dengan streptomisin atau INH.
1.8.2    Farmakokinetik
Pada pemberian peroral etinamid mudah di absorbsi. Kadar puncak tercapai dalam 3 jam dan kadar terapi bertahan selama 12 jam. Distribusi cepat, luas, dan merata ke seluruh cairan dan jaringan tubuh. Eksresi berlangsung cepat dan terutama dalam bentuk metabolitnya, hanya 1% berbentuk aktif.
1.8.3    Efek samping
Efek samping yang paling sering dijumpai adalah anoreksia, mual, dan muntah. Sering juga terjadi hipertensi postural yang hebat, depresi mental, mengantuk dan athenia. Dapat pula terjadi rasa kecap metalik, sedangkan kejang dan neuropati primer jarang terjadi. Efek samping lain pada sistem saraf mencakup gangguan pada saraf olfaktorius, pengelihatan kabur, diplopia, vertigo parasetia, sakit kepala, rasa lelah dan tremor. Kemerahan kulit, purpura, stomatitis, ginikomastia, impotensi, menoragi, akne, dan aloposia juga pernah dilaporkan.
Hepatitis terjadi pada sekitar 5% pasien yang menggunakan obat ini. Gejala hepatotoksik hilang bila pengobatan dihentikan. Fungsi hati pasien yang mendapat etionamid perlu diperiksa secara teratur dan penggunaannya dianjurkan bersama dengan piridoksin.
1.8.4    Sediaan dan posologi
Etionamid terdapat dalam bentuk tablet 250 mg. Dosis awal ialah dua kali 250 mg sehari, kemudian dinaikan  setiap lima hari dengan 125 mg sampai maksimal 1 g/hari. Obat ini sebaiknya diberikan pada waktu makan untuk mengurangi iritasi lambung.
1.8.5    Status dalam pengobatan
Entionamid merupakan anti tuberculosis sekunder yang harus dikombinasi dengan anti tuberkulosis lain bila obat primer tidak efektif lagi atau dikontraindikasikan. Obat ini tidak beredar diindonesia.
1.9       Kapreomisin
1.9.1    Efek samping
Kapreomisin dapat merusak saraf otak VIII, oleh karena itu perlu dilakukan audiometrik dan pemeriksaan fungsi vestibuler sebelum mulai pemberiannya. Efek samping lain adalah hipokalemia, memburuknya angka angka uji fungsi hati, eosinofilia, leukositosis dan leukopenia, serta trobositopenia.
1.9.2    Status dalam pengobatan
Kepromisin hanya digunakan dalam kombinasi dengan antituberkulosis lain. Dalam kombinasi dengan etambutol dan INH, obat ini terbukti bermanfaat dalam terapi tuberkulosis yang gagal diobati. Kapreomisin tidak tersedia di indonesia.
1.9.3    Indikasi
Sikloserin merupakan obat pilihan kedua untuk tuberkulosis. Obat ini hanya digunakan pada kegagalan terapi dengan obat primer atau bila kumannya resisten terhadap obat obat itu. Penggunaannya harus bersama dengan obat yang lebih efektif.
1.10     Pengobatan tuberculosis
Tuberculosis (TB) merupakan penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis, suatu basil tahan asam yang ditularkan melalui udara.
Ciri ciri seseorang yang terinfeksi TB adalah sebagai berikut:
a)      Batuk kronis
Beberapa dokter menganjurkan, batuk yang tidak pulih sampai 2 pekan mesti segera dibawa dikarenakan selalu ada kemungkinan tertular TBC. Batuk dikarenakan infeksi TBC umumnya dibarengi dahak kental, terkadang juga ada bercak darah jika infeksinya telah mulai kronis.
b)      Demam
Semua type infeksi biasanya ditandai adanya demam atau peningkatan suhu tubuh, yang berarti system kekebalan tubuh tengah berupaya  memerangi kuman. Infeksi TBC juga mengakibatkan demam yang terkadang dibarengi menggigil serta keringat dingin.
c)      Berat badan turun
Umumnya pengidap TBC mengeluhkan hilangnya nafsu makan sepanjang berhari-hari. Efeknya yang dapat segera dilihat penurunan berat badan dengan mencolok, sebagai salah satu yang gejala sangat khas pada infeksi TBC di paru-paru.
d)     Sesak nafas
Infeksi kuman TBC di paru-paru atau pun saluran yang terhubung kesana amat merubah system pernapasan. Situasi ini bias memunculkan tanda-tanda sesak napas dibarengi nyeri dada, lantas bila dipindai dengan rontgen maka dapat terlihat ada flek yang mengisyaratkan ada rusaknya di jaringan paru.
e)      Lemas serta cepat letih
Fungsi system pernapasan menyusut dikarenakan jaringan paru-paru mengalami kerusakan, ditambah nafsu makan menyusut maka akhirnya menjadi lemas serta cepat letih. Pengidap TBC biasanya terlihat lesu, sedikit-sedikit mengeluh kelelahan tiap tengah melakukan aktivitas.

TB dapat menyerang beberapa organ tubuh, diantaranya paru paru, ginjal, tulang, dan usus.
Tubercolosis ( TBC ) tulang yaitu penyakit yang dikarenakan oleh virus mycobacterium tuberculosa. Tuberculosis tulang yaitu satu system peradangan kronik serta destruktif yang dikarenakan basil tuberkulosa yang menyebar dengan hematogen dari focus jauh. Virus ini menyebar melalui hawa. Pintu masuk pada tubuh manusia yaitu melalui saluran pernafasan / paru-paru. Perubahan virus TBC di dalam tubuh amat lamban, bergantung pada daya tahan tubuh orang yang berkaitan.
Tubercolosis tulang ( TBC tulang ) biasa menyerang sseluruh tulang, namun yang sangat kerap berlangsung yaitu TBC pada tulang belakang, pinggul, lutut, kaki, siku, tangan serta bahu. Rahang bawah ( mandibula ) serta sendi tempero mandibular yaitu tempat yang sangat jarang terjangki toleh kumanTBC.
Kontrol yang dikerjakan untuk medeteksi ada TBC tulang yaitu melalui control laboratorium serta control radiologis. Kontrol radiologis dikerjakan dengan foto toraks dikarenakan penyakit TBC tulang 80% dikarenakan  penyebaran dari TBC paru. Bila dicurigai ada TBC tulang maka dikerjakan control tingkat lanjut melewati foto pada tulang ( foto polos posisi ap, lateral sertact-scan atau MRI ).
ü  Tanda-tanda TBC tulang
Awal mulanya pasien jadi pegal-pegal dibarengi rasa capek pada sore hari. Pada tingkat setelah itu pasien alami penurunan berat badan, demam, berkeringat pada malam hari, kehilangan nafsu makan.
Pada sendi gejalanya serupa arthritis yakni nyeri pada sendi, bengkak, alami keterbatasan gerak kulit di atas tempat yang merasa nyeri terkadang teraba panas serta terkadang merasa dingin, kulit berwarna merah kebiruan.
Pada anak-anak gejalanya bias ditemukan spasme otot saat malam hari ( night start ). Kadang-kadang dibarengi demam ringan. Pada masalah yang berat, kelemahan otot dapat berlangsung sedemikian cepatnya menyerupai kelumpuhan.
ü  Cara penyembuhan TBC tulaang
Pada step awal pasien memperoleh obat tiap-tiap hari serta diawasi segera untuk menghindari terjadinya kekebalan pada seluruh obat. Namun ditahap setelah itu pasien memperoleh type obat lebih sedikit tetapi didalam periode waktu yang lebih lama. Step kelanjutan ini mutlak untuk membunuh kuman persistent hingga menghindar berlangsungnya kekambuhan.
Penyakit TBC tulang bias mengakibatkan tulang yang yang diserang jadi rusak, hingga dapat berlangsung pengeroposan tulang.untuk memulihkannya dibutuhkan kesabaran serta waktu yang lama. Terlebih bila pasien telah berumur lanjut. Penyakit ini tidak bersifat turunan, namun kemungkinan menular.
Gastrointestinal Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang berkembang terutama bila sistem kekebalan tubuh melemah. Tuberkulosis usus dapat menginfeksi setiap bagian dari usus, tetapi tempat paling favorit adalah ileum dan usus besar.
Pengobatan gastrointestinal tuberculosis berlangsung selama enam bulan. Ini menggunakan terapi obat yang terdiri dari empat obat: isoniazid, pirazinamid, dan etambutol atau streptomisin firampicina. Setelah periode 60 hari piranzinamida obat berhenti. Selama 4 bulan isoniazid dan rifampisin lebih lanjut. Tergantung pada infeksi resisten terhadap isoniazid menghentikan dan melanjutkan pengobatan dengan rifampisin dan etambutol piranzinamida.



Tujuan pengobatan tuberculosis adalah memusnahkan basil tuberculosis dengan cepat dan mencegah kambuh. Selain itu juga bertujuan mengurangi transmisi TB kepada orang lain dan mencegah memperlambat timbulnya resisten TB terhadap obat. Idealnya pengobatan untuk menghasilkan pemeriksaan sputum negatif baik pada uji hapusan dahak maupun biakan kuman dan hasil itu tetap negatif untuk selamanya.
A.  Pemilihan obat
Ada dua prinsip pengobatan tuberculosis yaitu:
a)      Paling sedikit menggunakan dua obat
b)      Pengobatan harus berlangsung setidaknya 3-6bulan setelah sputum negatif untuk tujuan sterilisasi lesi dan mencegah kambuh.
B.  Regimen pengobatan
Menurut panduan WHO regimen pengobatan terdiri atas dua fase yaitu fase awal (initial phase) dan satu fase lanjutan (continoum phase). Regimen ini ditulis dengan kode baku sebagai berikut: angka didepan satu fase menunjukan jangka waktu pengobatan fase tersebut dalam bulan. Huruf menunjukan obat dan angka dibelakang, huruf menunjukan frekuensi pemberian obat perminggu. Kalau tidak ada angka disamping atau disamping bawah huruf, menunjukan pemberian obat setiap hari/minggu huruf didalam kurung merupakan obat dalam kombinasi tetap (fixed-dose combination=FDC).
Contoh : 2 (HRZE)/4(HR)
Fase awal 2(HRZE) diberikan selama 2 bulan setiap hari dengan kombinasi tetap isoniazid (H), rifampisin ®, Pirazinamid (Z) dan etambutol (E). Kemudian dilanjutkan dengan satu fase lanjutan 4(HR), artinya lama pengobatan 4 bulan dengan kombinasi tetap INH dan rifampisin, tiga kali perminggu.

C.  Paduan terapi untuk pasien BTA (Basil Tahan Asam) positif
1.                  Paduan 9HR,
2.                  Paduan HR/8H2R2
3.                  Paduan 2HRZ/4HR
4.                  Paduan 2HRZ/4HRZ
5.                  Paduan 2HRZ/4H3R3
6.                  Paduan 2H3R3Z3/4H3R3
7.                  Paduan 2HRZE/4H3R3
8.                  Paduan 2HRZ/2H3R3
D.  DOTS (Directly observed treatment, short-course)
DOT adalah strategi program pemberantasan TB yang direkomendasikan oleh WHO untuk memastikan mencapai hasil penyembuhan pasien TB yang tinggi. Strategi observasi langsung pada program ini maksudnya satu pengawas makan obat (PMO) melihat pasien menelan obat anti TB yang diberikan. Hal ini untuk menjamin bahwa pasien makan obat yang benar. PMO bisa seorang petugas kesehatan atau anggota masyarakat yang sudah dilatih.  Karena semua pasien diobati dengan regimen jangka pendek maka DOTS merupakan strategi yang dianjurkan, kecuali terdapat kontraindikasi untuk rifampisin.
E.   Anjuran regimen terapi fase lanjutan untuk pasien baru kategori I dan III
Bentuk fase lanjutan ini adalah sebagai berikut:
a)                  4HR setiap hari atau tiga kali seminggu, diberikan dengan cara DOT, sesuai untuk pasien rawat atau PMO (Pengawas Makan Obat) dekat. Untuk cara ini penggunaan FDC sangat dianjurkan.
b)                  6HE diberikan setiap hari. Pemberian obat 3 kali/minggu cocok untuk negara negara dengan PUSKESMAS sedikit. Untuk pasien HIV, semua jenis obat antiretrovinal dalam kombinasi dapat diberikan bersama anti-TB dalam regimen ini.


F.   Tatalaksana untuk kasus yang gagal dengan regimen terapi kategori 1
Umumnya gagal terapi dengan regimen kategori I probabilitas tinggi terjadi MDR (Multidrug-resistant) terutama bila dilaksanakan dengan terapi DOT dan menggunakan rifampisin dalam terapi fase lanjutan. Regimen terapi kategori II kurang efektif untuk mengobati kasus TB-MDR dan dapat menyebabkan peningkatan resistensi obat. Pada kasus yang gagal dengan terapi regimen kategori I, proporsi TB-MDR tinggi, perlu dipertimbangkan untuk mengatasi kasus tersebut dengan terapi regimen kategori IV, yang memerlukan DST (Individualized Drug Susceptibility testing) atau data DRS (Drug Resitence Surveilance) yang representatif dari pasien. Regimen kategori IV hanya dilakukan pada program DOTS dan dirancang khusus untuk situasi setempat.
G.  Resistensi
Penggunaan obat tunggal akan cepat menimbulkan resistensi. Untuk tuberculosis yang telah resisten terhadap salah satu obat TB harus digunakan obat lain yang masih efektif terhadap kuman tersebut.
H.  Efek samping
Walaupun sebagian besar antituberculosis dapat diterima dalam terapi, semuanya mempunyai efek toksik potensial. Kesalahan yang banyak dilakukan oleh para dokter ialah kegagalan mengenali efek  toksik secara cepat. Reaksi hipersensitivitas seringkali terjadi antara minggu ketiga dan kedelapan setelah pengobatan dimulai.
I.     Regimen pengobatan pada pasien defisiensi imun
Infeksi tuberculosis pada pasien defisiensi imun terutama pasien AIDS atau pengidap HIV biasanya lebih cepat berkembang dan sukar sembuh karena imunitasnya sangat menurun. Oleh karena itu memerlukan pengobatan yang lebih intensif. The center for desease control (CDC) Amerika serikat menganjurkan agar pengobatan pasien semacam ini sedikitnya diberikan selama 9 bulan. 


J.     Penilaian hasil pengobatan
Penilaian pada hasil pengobatan TB dengan BTA positif paling baik dilakukan setiap bulan sampai hasil pemeriksaan BTA negatif. Pada pengobatan jangka pendek biasanya 80% hasil pemeriksaan BTA akan negatif dalam waktu 3 bulan. Kalau tidak, harus dilakukan penilaian ulang.
Pada pasien yang BTA-nya negatif pada awal pengobatan, penilaian yang praktis dilakukan dengan pemeriksaan radiologik toraks dan pemeriksaan kliniks.
Kegagalan pengobatan dapat terjadi karena mungkin paduan pengobatan tidak memadai, dosis tidak cukup, makan obat tidak teratur, masa pengobatan kurang lama, adanya kuman yang resisten , atau menjadi resisten, putus berobat, dsb.
K.  Pengobatan ulang
Pengobatan ulang dilakukan bila terjadi kegagalan dalam pengobatan atau penyakit kambuh setelah pengobatan selama 6 atau 9 bulan atau drop out. Pengobatan dinyatakan gagal bila setelah 6 bulan pengobatan hasil uji BTA tetap positif. Pada pasien ini perlu dilakukan uji kepekaan. Sambil menunggu hasil uji kepekaan pengobatan dilanjutkan dengan obat yang sama. Kegagalan pada obat awal biasanya disertai adanya basil yang resisten.
Kambuhan setelah obat yang berhasil sering disebabkan oleh galur basil yang sama dengan basil yang diolesi selama pengobatan. Pengobatan ulang dalam kasus ini juga menambahkan dua obat yang aktif terhadap basil tersebut. Bila basil resisten terhadap INH, maka pemberian rifampisin bersama etambutol biasanya akan memadai.
L.   Pengobatan pencegahan
Profilaksis diberikan kepada 2 pasien ini:
1.                  Individu dengan kontak positif tetapi uji mantour negatif. Tujuan pemberian profilaksis disini ialah mencegah infeksi.
2.                  Individu yang telah terinfeksi tetapi tanpa gejala klinik. Tujuan profilaksis disini ialah mencegah timbulnya penyakit yang aktif.
M. Terapi kortikosteroid pada TB
Kortikosteroid hanya diberikan pada pasien yang sangat parah seperti meningitis dan perikarditis tuberculosis dengan syarat bahwa pasien sudah mendapat perlindungan cukup dengan tuberkulostatik. dan kemungkinan terjadinya efek samping steroid harus dinilai setiap individu.
Manfaat pemberian steroid ini hanya tampak pada bulan pertama sampai bulan ketiga berupa perbaikan klinis yang cepat.
Gambaran klinik dan radiologik pasien yang menerima steroid dapat cepat memburuk selama pengobatan dengan kortikosteroid, sehingga kecurigaan akan timbulnya reaksi buruk itu harus selalu ada bila pemberian steroid. Bila diperlukan dosis kortikosteroid ialah dosis yang ekuivalen dengan 40 mg prednison sehari yang diberikan paling lama 6 minggu, kemudian diturunkan perlahan lahan supaya tidak terjadi  fenomena rebound akibat pemberian steroid dosis tinggi.
N.  Tablet kombinasi tetap
Obat kombinasi tetap mempunyai berbagai keuntungan dibandingkan dengan obat tunggal.
a)                  Kekeliruan dalam peresepan berkurang karena dosis yang dianjurkan lebih jelas dan penyesuaaian dosis terhadap berat badan lebih mudah.
b)                  Jumlah tablet yang dimakan sedikit, sehingga hal ini bisa meningkatkan kepatuhan pasien makan obat
c)                  Bila terapi tidak diamati, pasien tidak bisa memilih obat sesuka hati
Namun demikian FDC juga mempunyai kerugian yaitu:
a)                  Dapat terjadi kesalahan preskripsi obat, dosis sangat berlebihan (resiko toksisitas) atau kadar sub inhibitor semua obat (resiko timbul resistensi)
b)                  Petugas kesehatan dapat cenderung menghindari DOT terapi, karena merasa yakin kepatuhan makan obat terjamin
c)                  Bioavailabilitas rifampisin rendah untuk beberapa FDC dapat terjadi terutama dalam kombinasi 3 atau 4 obat
d)                 Penggunaan FDC tidak menghilangkan kebiasaan makan lebih dari satu obat sehingga timbul toksisitas.
Dengan mempertimbangkan resiko dan manfaat, WHO menganjurkan dengan sangat penggunaan tablet FDC untuk pengobatan TB, bila kondisi sesuai.
FORMULASI ANTI-TB ESENSIAL ANJURAN WHO
Preparat tunggal
Obat
Bentuk
Kekuatan
INH
Rifampisin
Pirazinamid
Etambutol
Streptomisin
Tablet
Tablet atau kapsul
Tablet
Tablet
Bubuk untuk suntik dalam vial
100 mg, 300 mg
150 mg, 300 mg
400 mg
100 mg, 400 mg
1 g


Preparat kombinasi tetap (FDC)
Obat
Bentuk
Dosis/hari
Dosis 3 kali seminggu
INH + rifampisim



INH + etambutol
INH + rifampisin + pirazinamid



INH+ rifampisin + pirazinamid + etambutol
Tablet

Tablet atau granul dalam kemasan
Tablet
Tablet

Tablet atau granul dalam kemasan
Tablet
75 mg + 150 mg
150 mg + 150 mg
30 mg + 60 mg


150 mg + 400 mg
75 mg + 150 mg + 400 mg
30 mg + 60 mg + 150 mg

75 mg + 150 mg + 400 mg + 275 mg
150 mg + 150 mg

60 mg  + 60 mg



150 mg + 150 mg + 500 mg





II.            Leprastatik
Penyakit lepra di Indonesia cukup banyak dan memerlukan perhatian serius. Penyakit lepra disebabkan oleh mikobacterium leprae. WHO menganjurkan penggunaan kombinasi 3 obat sekaligus yaitu dapson, rifampisin dan klofazimin untuk pemberantasan global penyakit lepra.
2.1       Sulfon
Golongan sulfon merupakan derivate 4.4 diamino difenil sulfon (DDS, dapson) yang memiliki sifat farmakologi yang sama. Aktivitas sulfon terhadap basil lepra secara in vitro tidak dapat diukur mengingat basil belum dapat dibiakkan dalam media buatan. Terhadap basil, tuberkulosis obat ini sifatnya bakteriostatik; dapson dapat menghambat pertumbuhan basil pada kadar 10 µg/mL.Resistensi dapat terjadi selama pengobatan berlangsung.
Mekanisme kerja sulfon sama dengan sulfonamid. Kedua golongan obat ini mempunyai spektrum antibakteri yang sama, dan dapat dihambat aktivitasnya oleh PABA secara bersaing.
2.1.1    Farmakokinetik
Dapson diserap lambat di saluran cerna, tetapi hampir sempurna. Sulfokson diserap kurang sempurna sehingga banyak terbuang bersama feses. Kadar puncak tercapai setelah 1-3 jam, yaitu 10-15 µg/mL setelah pemberian dosis yang dianjurkan. Kadar puncak cepat turun, tetapi masih dijumpai dalam jumlah cukup setelah 8 jam. Waktu paruh eliminasi berkisar antar 10-50 jam dengan rata-rata 28 jam. Pada dosis berulang, sejumlah kecil obat masih ditemukan sampai 35 hari setelah pemberian obat dihentikan.

Golongan sulfon tersebar luas di seluruh jaringan dan cairan tubuh. Obat ini cenderung tertahan dalam kulit dan otot, tetapi lebih banyak dala hati dan ginjal. Obat terikat pada protein plasma sebanyak 50-70%, dan mengalami daur enterohepatik. Daur ini yang menyebabkan obat masih ditemukan dalam darah lama setelah pemberiannya dihentikan. Sulfon mengalami metabolisme dalam hati dan kecepatan asetilasinya ditentukan oleh faktor genetik.
Ekskresi melalui urin berbeda jumlahnya bagi setiap sediaan sulfon. Dapson dosis tunggal di ekskresi sebanyak 70-80% terutama dalam bentuk metabolitnya. Probenosid dapat menghambat ekskresi dapson dan metabolitnya.
2.1.2    Efek samping
Efek samping sediaan sulfon yang paling sering terlihat ialah hemolisis yang berhubungan erat dengan besarnya dosis. Hemolisis dapat terjadi pada hampir setiap pasien yang menerima 200-300 mg dapson sehari. Dosis 100 mg pada orang normal atau dosis kurang dari 50 mgpada orang yang menderita kekurangan enzim GPD tidak menimbulkan hemolisis . Metemoglobinemia sering pula terlihat, kadang-kadang disertai pembentukan Heinz boby.
Walaupun seperti itu anemia hemolisis jarang terjadi kecuali pasien juga menderita kelainan eritrosit atau sumsum tulang. Tanda hipoksia akan tampa bila hemolisis sudah demikian berat.
Anoreksi, mual dan muntah dapat terjadi pada pemberian sulfon. Gejala yang pernah dilaporkan ialah sakit kepala, gugup, sukar tidur, penglihatan kabur, parestesia, neuropati periver yang mampu pulih, demam, hematuria, pruritus, psikosis, dan berbagai bentuk kelainan kulit, dan juga gejala mirip mononucleosis infeksiosa yang berakibat fatal pernah pula dilaporkan. Sulfon dapat pula menimbulkan reaksi leprometosis yang analog dengan reaksi jarischherxhelme. Sindrom yang disebut “Sindrom sulfon” ini dapar timbul 5-8 minggu setelah awal terapi pada pasien yang bergizi buruk. Gejala dapat berupa demam, malaise, dermatitis eksfoliatif, ikterus yang disertai nekrosis hati, limfadenopati, methamoglobinemia dan anemia.
2.1.3    Sediaan dan posologi
Sulfon dapat digunakan dengan aman selama beberapa tahun bila pemberian dilakukan dengan seksama. Pengobatan harus dimulai dengan dosis kecil, kemudian dinaikkan perlahan-lahan dengan pengawasan klinik dan laboraturium secara teratur. Reaksi lepromatosis berupa sindrom sulfon dapat demikian parah dan memerlukan penghentian terapi.
Dapson diberikan dalam bentuk tablet 25 dan 100 mg secara oral. Pengobatan dimulai dengan dosis 25 mg. Dalam 2 minggu pertama dosis ini diberikan sekali dalam seminggu, kemudian setiap 2 minggu frekuensi pemberian ditambahkan satu kali sampai tercapai pemberian 5 kali seminggu. Setelah itu dosis dinaikkan menjadi 50 mg, yang diberikan 3 kali seminggu selama 1 bulan dan akhirnya dinaikkan 4 kali seminggu untuk waktu yang tidak terbatas. Pemberian dapson 100 mg dua kali seminggu mungkin cukup efektif untuk pengobatan jangka lama.
Natrium sulfokson diberikan pada pasien yang mengalami gangguan saluran cerna akibat dapson. Natrium sulfokson terdapat dalam bentuk tablet bersalut gula 165 mg. Dosis awal ialah 330 mg diberikan 2 kali seminggu selama2 minggu pertama, kemudian pemberian dinaikkan lagi menjadi 6 kali seminggu. Dosis maksimum per hari ialah 660 mg.
2.2       Rifampisin
Farmakologi obat ini telah ditinjau sebagai antituberkulosi. Pada hewan coba, antibiotik obat ini cepat mengadakan sentralisasi kaki mencit yang diinfeksi dengan M. Leprae dan tampaknya mempunyai efek bakterisid. Walaupun obat ini mampu menembus sel dan saraf, dalam pengobatan yang berlangsung lama saja ditemukan kuman hidup. Beberapa pasien yang makan obat ini selama 10 tahun tidak timbul masalah, tetapi resistensi timbul dalam waktu 3-4 tahun. Atas dasar inilah penggunaan rifampisin pada penyakit lepra hanya dianjurkan dalam kombinasi dengan obat lain. Kini dibeberapa negara sedang dicoba penggunaan rifampisin dan dapson untuk M. Leprae yang sensitif  terhadap dapson, serta kombinasi rifampisin dengan klofazimin atau etionamid untuk M. Leprae yang resisten terhadap dapson. Dosisnya untuk semua jenis lepra adalah 600 mg/hari. Kini juga sedang diteliti paduan yang menggunakan rifampisin dosis 300 mg/hari atau untuk penggunaan intermiten dengan dosis 600 mg sampai 1500 mg.
2.3       Klofazimin
Kolazimin merupakan turunan fenazin yang efektif terhadap basil lepra. Kedudukan obat ini sekarang ialah sebagai pengganti dalam kombinasi dengan rifampisin bila basil lepra sudah resistensi terhadap dapson. Obat ini tidak saja efektif untuk lepra jenis lepromotosis, tetapi juga memiliki efek antiradang sehingga dapat mencegah timbulnya aritema nodosum. Akhir akhir in banyak bukti yang menunjukan bahwa klofazimin dapat menekan eksaserbasi lepramatosis.
Pada pemberian oral, obat ini diserap dan ditimbun dalam jaringan tubuh. Keadaan ini memungkinkan pemberian obat secara berkala dengan jarak waktu antar dosis 2 minggu atau lebih. Efek bakterisid klofazimin baru terlihat setelah 50 hari terapi. Dosis klofazimin untuk segala bentuk lepra ialah 100 mg sehari. Untuk mengendalikan reaksi lepromatoss mungkin diperlukan dosis sampai 3 kali 100 mg sehari, yang harus segera dikurangi bila timbul keluhan saluran cerna. Kulit dapat mengalami pigmentasi merah dan hitam yang mengganggu bagi pasien berkulit putih. Klofazimin tersedia sebagai kapsul 100 mg.
2.4       Amitozon
Obat  turunan tuosemikarbazon ini lebih efektif terhadap lepra jenis tuberkuloid dibandingkan dengan jenis lepromatosis. Resistensi dapat terjadi selama pengobatan sehingga pada tahun kedua pengobatan perbaikan melambat dan pada tahun ketiga penyakit mungkin kambuh. Karena itu amitiozon dianjurkan penggunaannya bila dapson tidak dapat diterima pasien.
Efek samping yang paling sering terjadi ialah anoreksia, mual dan muntah. Anemia karena depresi sumsum tulang terlihat pada sebagian besar pasien. Leukopenia dan agranulositosis dapat terjadi, tetapi yang berat keadaannya terdapat pada 0,5% pasien. Anemia hemolitik akut dapat terjadi dengan dosis tinggi
2.5       Obat obat lain
Tiambutosin digunakan untuk pasien yang tidak tahan terhadap efek samping dapson. Obat ini tidak seefektif dapson. Resistensi cenderung timbul setelah penggunaan obat sekitar 2 tahun.
Talidomid yang dalam sejarah menimbulkan kelainan teratogenik berupa fokomelia telah dicoba dan tampaknya efektif untuk mengobati eritema nodosum leprosum. Dosis 100-300 mg per hari sudah efektif tetapi efek teratogenik membatasi penggunaannya.
2.6       Pengobatan lepra
Lepra atau biasa disebut dengan kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. (Depkes RI, 1998)Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi mikobakterium leprae. (Mansjoer Arif, 2000)
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang di sebabkan oleh mycobacterium lepra yang interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem endotelial, mata, otot, tulang, dan testis ( djuanda, 4.1997 )
Kusta adalah penykit menular pada umunya mempengaruhi kulit dan saraf perifer, tetapi mempunyai cakupan manifestasi klinis yang luas ( COC, 2003)
Faktor faktor penyebab tejadinya kusta adalah:
a) Sumber Penularan
Hanya  manusia  satu-satunya  sampai  saat  ini  yang  dianggap  sebagai  sumber penularan  walaupun  kuman  kusta  dapat  hidup  pada  armadillo,  simpanse,  dan  pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thymus.
b) Cara Keluar dari Pejamu (Host)
Mukosa  hidung  telah  lama  dikenal  sebagai  sumber  dari  kuman.  Suatu  kerokan hidung dari penderita tipe Lepromatous yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar  10-10.  Dan  telah  terbukti  bahwa  saluran  napas  bagian  atas  dari  penderita  tipe Lepromatous merupakan sumber kuman yang terpenting dalam lingkungan
c) Cara Penularan
Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum diketahui secara pasti bagaimana cara  penularan  penyakit  kusta.  Secara  teoritis  penularan  ini  dapat  terjadi  dengan  cara kontak  yang  lama  dengan  penderita.  Penderita  yang  sudah  minum  obat  sesuai  dengan regimen WHO tidak menjadi sumber penularan bagi orang lain.
d) Cara Masuk ke Pejamu
Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini belum dapat dipastikan. Diperirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernapasan bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh
e) Pejamu
Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah  kontak dengan penderita, hal   ini   disebabkan   karena   adanya   imunitas.   M.   leprae   termasuk   kuman   obligat intraseluler  dan  sistem  kekebalan  yang  efektif  adalah  sistem  kekebalan  seluler.  Faktor fisiologik  seperti  pubertas,  menopause,  kehamilan,  serta  faktor  infeksi  dan  malnutrisi dapat   meningkatkan   perubahan   klinis   penyakit   kusta.   Dari   studi   keluarga   kembar didapatkan bahwa faktor genetik mempengaruhi tipe penyakit yang berkembang setelah infeksi. Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hampir sebagian kecil (5%) dapat ditulari. Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang dapat menjadi sakit.
Pengobatan lepra juga mengalami perubahan setelah suksesnya pengobatan tuberkolosis dengan paduan terapi jangka pendek. Dimasa lalu pengobatan lepra biasanya dengan obat tunggal. Kini banyak diusahakan pengobatan minimal dengan dua obat dan rifampisin juga merupakan komponen yang penting. Untuk memahami pengobatan lepra, perlu dipahami bentuk klinik penyakit tersebut.
Klasifikasi. Madrid membagi penyakit ini menjadi 4 tipe yaitu tipe indeterminate, tuberculoid, borderline, dan lepromatosa. Sedangkan Ridley dan Jopling membaginya menjadi 6 tipe yaitu tipe indeterminate, tuberculoid, borderline tuberculoid ( tipe BT), boderline atau midborderline (Tipe BB), boderline lepramatosa ( Tipe BL), dan lepromatosa (LL). Lepra tipe indeterminate merupakan bentuk permulaan penyakit lepra yang memperlihatkan bermacam bentuk macula hipopigmentasi. Sekitar 75% lesi ini sembuh spontan, yang lain mungkin menetap sebagai tipe indeterminate atau berkembang menjadi batuk-batuk tuberculoid, boderline untuk seterusnya menjadi bentuk lepromatosa. Tanda klinik bentuk tuberculoid sampai bentuk lepromatosa.
Bila kuman M. Leprae  masuk kedalam tubuh seseorang, maka dapat timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut.Bentuk tipe klinis tergantung pada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. Bila SIS baik maka akan tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid, dan sebaliknya apabila SIS rendahakan memberikan gambaran ke arah lepromatosa.Bentuk-bentuk Lepra :

1.      Bentuk Lepra tuberkuloid.
Disebut juga dengan nama Lepra paucibacillair. Pada tahap ini pasien masih mudah disembuhkan, karena ternyata pasien LT masih punya daya-tangkis imunologi yang baik. Bentuk ini paling sering dijumpai, kurang lebih 75% dari jumlah penderita akan tetapi tidak bersifat menular. Gejalanya pertama, berupa noda-noda putih pucat dikulit yang hilang-rasa dan penebalan saraf-saraf yang nyeri diberbagai tempat diseluruh tubuh, terutama di telinga, muka, kaki-tangan. Dapat merusak saraf-saraf jika tidak segera diobati, oleh karena tidak luka-luka nya yang dirasakan pasien, maka biasanya lama-kelamaan lukanya akan membentuk borok, dan membuat puntung terutama jika luka yang menginfeksi kaki-tangan (cacat hebat sekunder).
2.      Bentuk Lepra lepromatosa atau Lepra multibacillair.
Adalah bentuk tersebar yang sangat menular dan banyak terdapat basil, dengan cirri bentol merah (nodule), demam, dan anemia. Pasien yang terkena bentuk lepra yang kedua ini bias dikatakan dengan pasien “berparas-singa”. Karena timbul deformasi akibat infiltrat di muka, kelumpuhan urat saraf-saraf muka (paresis facialis) dan mutilasi hidung karenara punya tulang rawan. Bila tidak diobati, pasien yang terkena basil ini akan mengalami kerusakan organ juga.
3.      Bentuk Lepra borderline (LB)
Bentuk lepra borderline adalah bentuk kombinasi dari kedua bentuk diatas yaitu LT dan LL, yang akan terbagi lagi menjadi tiga bentuk peralihan. Tergantung dari cirinya masing-masing apakah menjadi LTB (lepra tuberculoid borderlin), LLB (lepra lepromateus borderline), dan lepra tak tentu.




(1)   Klasifikasi penyakit lepra menurut ridley dan jopling
Tanda-tanda
TT
BT
BB-LL
LL
Jumlah lesi kulit
Biasanya tunggal
Tunggal/sedikit
Beberapa banyak
Sangat banyak
Besar lesi
Beragam
Beragam
Beragam
Kecil
Permukaan lesi
Sangat kering/bersisik
Kering
Mengkilap
Mengkilap
Pertumbuhan rambut pada lesi
Tidak ada
Berkurang
Agak berkurang
Tidak berkurang
Daya rasa pada lesi
Hilang sama sekali
Menurun jelas
Menurun ringan
Tidak hilang
BTA dari apus jaringan kulit
Nol
Nol/jarang
Beberapa banyak
Sangat banyak
BTA dari korekan hidung
Nol
Nol
Nol/jarang
Sangat banyak
Tes lepromin
+++
+/++
Negatif
Negatif

Keterangan : TT =lepra tipe tuberkuloid ; BT =Borderline tuberculoid ; BB-LL =Mid –borderlinelepromatous ; LL =lepra lepromatosa

Untuk kepentingan pengobatan penyakit lepra dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan ada tidaknya BTA dalam pemerikasaan bakteriologis yaitu bentuk pausibasiler (tipe PB) dan bentuk multibasiler (HB).
Yang tergolong bentuk BB ialah semua tipe pada pemeriksaan laboraturium tidak ditemukan BTA yang termasuk dalam kelompok ini ialah tipe indeterminate dan tipe tuberculoid. Tetapi bila pada tipe ini ditemukan BTA positif, maka tipe ini tergolong dalam bentuk multibasiler (MB).
Bentuk multibasiler (MB) secara garis besar ialah semua tipe yang ada pada pemeriksaan laboratorium BTA-nya positif. Tipe borderline dan lepromatosa termasuk bentuk multibasiler walaupun BTA negatif.

(2)   Pemilihan obat
Dapson atau DDS merupakan obat terpilih untuk semua tipe penyakit lepra. Obat ini digunakan baik pada terapi obat tuggal maupun kombinasi. Bila terjadi resistensi terhadap DDS, atau reaksi alergi, baru digunakan obat lain. Klofazimin yang beberapa tahun lalu hanya digunakan untuk menggantikan DDS, kini digunakan bersama DDS untuk lepra tipe multibasiler dan rimpafisn merupakan komponen penting dalam terapi kombinasi baik pada lepra peusibasiler maupun multibasiler. Selain itu pada reaksi lepra juga digunakan kortikosteroid untuk efek anti inflamasinya. Talidomid digunakan untuk reaksi eritema dua nodosum leprosum, untuk reaksi reversal obat ini tidak bermanfaat.
(3)   Regimen pengobatan
Pengobatan lepra di Indonesia ada dua cara yaitu terapi kombinasi dan terapi obat tunggal. Terapi obat kombinasi yang dianjurkan di Indonesia sesuai dengan yang dianjurkan oleh WHO.
Paduan obat untuk kelompok pausibasiler adalah DDS 100 mg/hari selama 6-9 bulan dan rifampisin 600 mg sebulan sekali untuk 6 bulan. Untuk menjamin kepatuhan, pemberian rifampisin harus dibawah pengawasan dokter.Paduan obat untuk kelompok multibasiler adalah DDS 100 mg/hari, rifampisin 600 mg sebulan sekali, klofazimin 50 mg/hari, dan klofazimin 300 mg setiap bulan. Rifampisindan klofazimin yang diberikan sebula sekali juga harus diawasi pemberiannya. Lama pengobatan paling sedikit 2 tahun dan paling baik sampai hasil pemeriksaan BTA negatif.
(4)   Terapi obat tunggal
Didaerah yang belum terjangkau terapi obat kombinasi masih dilakukan terapi obat tunggal. Untuk tipe PB diberikan DDS 100 mg/hari yang lamanya paling sedikit 2-3 tahun sedang untuk MB laa pengobatan tidak ditentukan. Kini pengobatan dengan pengobatan tunggal tidak dianjurkan lagi. Oleh karena itu bila pasien yang sedang dalam terapi obat tunggal kemudian memperoleh kesempatan untuk mendapatkan obat kombinasi, maka pengobatan dimulai lagi seolah belum pernah mendapat pengobatan.
(5)   Reaksi lepra
Reaksi lepra adalah kejadian atau episode dalam perjalanan penyakit lepra  yang merupakan manifestasi reaksi imun (kekebalan) seluler maupun humoral. Reaksi ini dapat terjadi sebelum, selama,atau sesudah pengobatan. Yang sering terjadi ialah dalam pengobata biasanya antara 6 bulan-1 tahun pertama. Ada dua jenis reaksi lepra.
(1)                    REAKSI TIPE atau tipe reaksi reversal yang terjadi pada tipe tuberkuloid biasanya dalam 6 bulan pertama masa pengobatan. Gejala yang menonjol ialah neurutis sampai hilangnya sensorimotor, kulit menjadi kemerahan dan berluka,serta edema dimuka, tangan dan kaki. Reaksi tipe ini merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang berhubungan dengan meningkatnya respon sistem imun seluler. Pada reaksi yang ringan diberikan klorokuin 3 kali tablet selama 3-5 hari sementara antilepra tetap diteruskan kalau perlu dapat diberi analgesik dan sedaptif. Pada reaksi yang berat perlu diberika kortikosteroid.
(2)                    REAKSI TIPE II atau eritema nodosum leprosum (ENL) biasanya timbul lebih lambat daripada reaksi tipe I. Gejala dan tandanya ialah timbulnya benjolan kecil kemerahan di kulit (dimana saja), sering disertai neuritis, orchitis, iridosiklitis,arthritis, proteinuria, dan limfadenopati. Pengobatan reaksi tipe II sama dengan tipe I hanya klorokuin diberikan 1 minggu.
Pada reaksi yang berat diberikan kortikosteroid dan dosis klofazimin dinaikan menjadi 3 x 100 mg/hari selama 1 minggu. Bila reaksi berkurang dosis klofazimin diturunkan menjadi 2 kali 100 mg/hari sampai reaksi hilang. Kemudian dosis dikembalikanmenjadi 50 mg/hari. Bberapa pusat pemberantasan penyakit lepra di luar negeri seperti amerika serikan menggunakan talidomid untuk mengobati reaksi lepra tipe II yang berat dengan dosis awal 400 mg, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumat 100 mg/hari.
(6)   Penilaian hasil pengobatan
Kemajuan pengobatan dinilai dengan melihat perbaikan gejala dan tanda klinik maupun laboratorium, serta ketekunan berobat. Setelah memenuhi pernyataan sembuh oleh petugas kusta setepat.
Pasien kelompok pausibasiler yang telah menjalani pengobatan selama 6-9 bulandan memenuhi kriteria sembuh klinik dan laboratories dinyatakan selesai menjalani pengobatan (released from treatment/RTF). Tetapi mereka masih harus diawasi dan diperiksa terus secara klinik dan laboratoris sedikitnya setahun sekali selama 2-3 tahun. Bila selama itu tidak terjadi perubahan klinik yang menuju kambuh, maka mereka mereka dinyatakan bebas dari kontrol atau released from control/RFC. Bila semasa kontrol itu terjadi kembuh, maka pengobatan dimulai lagi dari permulaan.
Pasien kelompok multibasiler yang telah menjalani pengobatan selama 24-36 bulan dengan tekun dan memenuhi kriteria sembuh klinik dan laboratoris dinyatakan “telah selesai menjalani pengobatan” (released from treadment/RTF). Selanjutnya mereka masuk dalam masa pengawasan sedikitnya selama 5 tahun. Minimal setahun sekali mereka harus diperiksa secara klinik dan laboratoris untuk melihat perkembangan penyakitnya. Bila selama lima tahun itu tidak terjadi perkembangan menuju kambuh, maka mereka dinyatakan bebas dari kontrol (released from control). Tetapi bila dalam masa pengawasan itu terjadi perkembangan menuju kambuh, maka pengobatan dimulai lagi, mulai dari permulaan.

III.                        Anti virus
Virus adalah suatu mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit. Ada beberapa virus yang dapat menyebabkan infeksi misalnya herpes komplek, para myxovirus, orthomyxovirus, dan varicella zoster.
Empat golongan besar antivirus yang akan dibahas dalamdua bagian besar yaitu pembahasan  mengenaianti nonretrovirus dan anti retrovirus. Klasifikasi pembahasan obat antivirus dalam bab ini adalah sebagai berikut:
            Antinonretrovirus :
·         Antivirus untuk herpes
·         Anti firus untuk influenza
·         Antivirus untuk HBV dan HCV
            Antiretrovirus
·         Nucleoside reverse transcuitase inhibitor (NRTI)
·         Nucleoside reverse transcuitase inhibitor (NRTI)
·         NNRTI (non-nucleoside reverse transciptase inhibitor
·         Protease inhibitor (PI)
·         Viral entry inhibitor
3.1       Anti nonretrovirus
3.1.1    Anti virus untuk Herpes




Obat-obat yang aktif terhadap virus herpes  umumnya merupakan antimetabolit  yang mengalami bioaktifasi  mengenai enjim kinase sel hospes atau virus untuk membentuk senyawa yang dapat menghambat DNA polimerase Virus.  Gambaran mekanisme kerja obat-obatan antimetabolit sebagai antuvirus .
Asiklovir dimetaboleme oleh enzimkinase virus menjadi senyawa intermediat.  Senyawa intermediat asiklovir  dimetabolisme  lebih lanjut oleh enjim kinase sel hospes menjadi anolog neklotida, yang berkerja menghambat replikasi virus. Terdpat 2 antivirus yang diankat antara lain Asiklovir dan valasiklovir.
3.1.1.1 Asiklovir
a)      Mekanisme kerja
Asiklovir merupakan anolog 2’- deoksiguananogsin.  Asiklovir adalah suatu prodrug  yang baru memiliki evek antivirus  setelah  dimetabolisme menjadi asiklovir trivosfat.
Langkah kerja penting dari proses ini adalah pembentukan asiklovir monofosfat yang dikatalis oleh timidin  kinase pada sel hospes  yang terinveksi oleh virus hespes ysng dihasilkan oleh sitomogalevirus.  Kemundian enjim seluler menambahkan  gugus fosfat  untuk membentuk asiklovir trifosfat. Asiklovir trifosfat  menghambat sintesis DNA virus dengan cara berkompentensi dengan 2’-dioksiguanosin trifosfat sebagaisubstrak DNA  polimerase Virus. Jika asiklovir (dan bukan 2’-dioksiguanosin) yang masukketahap replikasi DNA virus, sintesis berhenti. Introkorporasi asiklovir monofosfat keDNA  virus bersifat ireversibel karena enjim esonoklease tidak dapat memperbaikinya. Pada proses ini, DNA polomerase virus menjadi inakrif.
b)      Resistensi
Resistensi terhadap asiklovir disebabkan oleh mutasi pada gen timidin  kinase virus atau pada Gen DNA polimerase.
c)      Indikasi
Inveksi HSV -1 dan HSV-2 baik lokal maupun sistemik dan inveksi VZV (verisela dan hepes zoster).  Karena kepekaan asiklovir terhdap VZV  kurang dibandingkan dengan HSV dosis yang diperlukan untuk trapi  khusus varicella dan zoster  jauh lebih tinggi dari pada trapi inveksi HVS.
d)     Dosis 
Dosis untuk herpes genital ialah 5 kali  sehari 200 mg tablet, sedangkan untuk hesper jortes ialah 4x 400 mg sehari.  Pengunaan topikal untuk keretitis herpatik adalah dalam bentuk krim.
e)      Efek samping
Obat ini  pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik .
3.1.1.2 Valasiklovir
Pada umumnya merupakan obat ester L-valil  dari asiklovir dan hanya terdapat dalam vormulasi oral. Setelah ditelan, valasiklovir dengan cepat diubah menjadi asiklovir  dengan enzim  valasiklovir hidrolase disaluran cerna dandihati
a.       Farmakokinaetik
Bioavailabilitas oralnya 3 hingga 5x asiklovir (54%)  waktu paruh eliminasi 2-3 jam,waktu paruh intraselnya, 1-2 jam .
b.      Mekanisme kerja dan resitensi
Sama dengan asiklovir
c.       Indikasi
Valasiklovir terbukti efektif dalam trapi  inveksi yang disebabkan oleh virus herpes simpleks, virus varicella-zoster dan  sebagai profilaksi terhadap penyakit yang disebabkan  sitomegalovirus.
d.      Dosis
Untuk harpes genital peroral  2 kali sehari 500 mg  tablet selama 10 hari. Untuk herpes zoster 3 kali  sehari  2 tablet 500 mg selama 7 hari.
e.       Efek samping
Sama dengan asiklovi.
3.1.2    antifirus untuk influenza
3.1.2.1 Amatadin dan rimatadin
a)      Mekanisme kerja, merupakan aantivirus yang berkerja pada protein M2 virus, suatu kanal ion trans membran yang dilaktifasi oleh PH.
b)      Resitensi , mutasi pada domain transmembran protein M2 virus menyebabkan resitensi virus terhadap amantadin dan rimatadin.
c)      Indikasi, pencegahan dan trapi awal infeksi virus influenza A (amantadin juga di diditansikan  untuk trapi penyakit parkinson).
d)     Dosis, tersedia dalam bentuk sirup dan tablet untuk pengunaan oral.            Amatadin diberikan dalam dosis  200 mg per hari (2 kali 100 mg kapsul). Rimatadin di berikan dalam 300 mg per hari ( 2 kali sehari 100 mg tablet).
e)      Resitensi,  terhadap amatadin dan rimatadin disebabkan oleh mutasi yang dapat mengubah asam amino pada kanal M2 virus.
f)       Efek samping, yang terseriang adalah efek samping gastro intensitinal ringan yang tergantung dosis.
3.1.3   antivirus untuk HBV dan HCV
3.1.3.1Lamivudin
Lmivudin merupakan L-enantiomer analok deoksisitidin. Di metabolismekan di hepatosid Menjadi netuk trifosfat yang aktif.  Lamivudin berkerja dengan cara menghentikan sintesis DNA.  Secara kompetitip menghambat polimerase virus
a)      Resistensi, resistensi terhadap lamuvidin disebabkan oleh mutasi pada DNA polimerase virus.
b)      Farmakokinetik,  bioavailabitas oral lamivudian adalah 80%  tecapai dalam 0,5-1,5 jam setelah pemberian dosis.  Limivudin didistribusikan secara luas dengan vd setara dengan volume cairan tubuh.
c)      Indikasi, infeksi HBV (wild-type dan procore variants)
d)     Dosis, per oral 100 mg per hari  (dewasa), untuk anak-anak  1 mg/kg  yang bila perlu di tingkatkan 100 mg/hari.
e)      Evek samping, obat ini umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang terjadi seperti sakit kepala  dan mual.
3.2 .     Antiretrovirus
3.2.1    necleoside reverese transcritase inhibitor (NRTI)
Reverse trans ciptase mengubah RNA menjadi DNA provital sebelum tehubung dengan kromosom hospes. Karena anti virus golongan ini bekerja pada tahap awal replikasi HIV, obat-obat golongan mencegah terjadinya inveiksi akut sel yang rentan, tapi hanya sedikit yang berefek pada sel yang telah terinfeksi HIV. Untuk dapat bekerja semua obat golongan ini harus mengalami fosforilasi oleh enzim sel hospes di sitoplasma.
3.2.1.1 Lidovediun
a.       Mekaanisme kerja, target jidovedium adalah enzim reverse transcriptase HIV. Jidofudine bekerja dengan cara menghambat enzim referse transciptasevirus, setelah gugus ezidotinidin pada zidofudine mengalami fosforilasi.
b.      Resistensi, resintensiterhadap zidofudin disebabkan oleh mutasi pada enzim reverse trans ciptase. Terhadap laporan resistensi silang dengan anolog nukleusida lainnya.
c.       Spetrum aktivitas, HIV(tipe 1&2).
d.      Idikasi, infeksi HIV, dalam kombinasi HIV lainya
e.       Dosis, zidofidin tersedia dalam bentuk kapsul 100 mg, tablet 300 mg dan sirup 5 mg/5 ml. Dosis per oral 600 mg/hari
f.       Efek sampingnya adalah anemia, neutrpenia, sakit kepala, mual.
3.2.1.2 Abakafil
a)      Mekanisme kerja, bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.
b)      Resistensi, resistensi terhadap abakafir disebabkan oleh mutasi pada RT kodon 184, 65, 75, dan 115.
c)      Spektrum aktivitas, HIV (tipe 1&2). Indikasi, infeksi HIV dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti zidofodin dan lanifudin.
d)     Dosis, per oral 100 mg/hari (2 tablet 300 mg).
efek samping, mual, muntah, diare, reaksi hipersensitif (demam, malaise, ruang), ganguan gastro intestinal.
3.2.2    Ntcleutide reverse transceriptase inhibitor (NtRTI)
Tenofir disoproksil fumarat merupakan neclootide reverse transceriptase inhibitor pertama yang ada untuk terapi infeksi HIV-1. Obat ini di gunakan dalam kombinasi dengan obat anti retrovirus lainnya. Tidak seperti NRTI yang harus melalui 3 tahap fosforilase intraselular untukmenjadi bentuk aktikNtRTI hanya membutukan 2 tahap saja. di harapkan, dengan berkurangnya satu tahap fosforilasi, obat dapat bekerja lebuih cepat dan konvensinya menjadi bentuk aktif lebih sempurna.
3.2.2.1 Tenofovir disoproksil
a.       Mekanisme kerja, bekerja pada HIV RT(dan HB RT)dengan cara menghentikan pembentukan rantai BNA virus.
b.      Resistensi, resistensi terhadap tonofovir di sebabkan oleh mutasi pada RT kodon 65.
c.       Farmakokinetik, di tentukan pada subjek yang menerima  tonofovir 1mg-kg IV 1 kali selama tujuh hari.
d.      Spectrum aktifitas, HIV (Type1 dan Type2) serta berbagai retovirus lainnya dan HBV.
e.       Indikasi, infeksi HIV dalam kombinasi dengan efaviren; tidak boleh di kombinasi dengan lamifudin dan abakafir.
f.       Sedian dan dosis, per oral sehari 300mg Tablet.
g.      Effek samping, mual, muntah,flatulens, diare.
3.2.3    Non-nucleoside reverse trancriptase inhibitor (NNRTI)
non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor merupakan kelas obat yang menghambat aktifitas enzim reverse transcriptase dengan cara berikatan di tempat yang aktif enzim dan meginduksi perubahan ponformasi pada situs aktif ini.
Nevirapin mekanisme kerja, bekerja pada situs alosterik pada ikatan non-substrack HIV-1 RT.
a)      Resistensi, resistensi terhadap revinapin di sebabkan oleh mutasi pada RT.
b)      Spectrum aktifitas, HIV type1.
c)      Indikasi , infeksi HIV-1, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya, terutama RETI.
d)     Dosis, per oral 200mg per hari selama 14 hari pertama.
e)      Efek samping, demam, ruam, fatigue, mual dan peningkatan enzim hati.

3.2.4    Protease Inhibitor (PI)
Semua pi bekerja dengan cara berikatan secara reversibel dengan situs aktif HIV-PROTEASE. Hal ini menyebabkan terhambatnya pengelepasan polipeptida per cursorvirus oleh enzim protease sehingga menghambat mutasi virus.
a.       Ritonafir mekanisme kerja, bekerja pada tahap transisi.
b.      Resistensi, resistensi terhadap ritonafir di sebab kan oleh mutasi awal pada protease kodon 82.
c.       Spectrum aktifitas, HIV(type1 dan type2).
d.      Indikasi, infeksi hiv, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya.
e.       Dosis, per oral 1200mg per hari, ( 6 kapsul 100mg, 2x sehari bersama dengan makanan).
f.       Efek samping, mual, muntah, diare.

3.2.5    Viral entry inhibitor
Enfuvirtid merupakan obat pertama yang masuk ke dalam golongan viral enty inhibitor.Obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat fusi virus kesel.

3.2.5.1 Enfuvirtid
a)      Mekanisme kerja, menghambat masuknya HIV-1 ke dalam sel dengan cara mengahambat fusi virus ke membran sel.
b)      Resistensi, perubahan gentik pada gp41 asam amino 36-41 menyebabkan resistensi terhadap enfuvirtid.
c)      Indikasi, terapi inveksi HIV-1 dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya.
d)     Dosis, infuvirtid 90mg (1ml) 2x sehari di injeksikan subkutan di lengan atas, bagian paha anterior atau di abdomen.
e)      Efek samping, efeksamping yang terseri8ng adalah reaksi local seperti nyeri, eritema, ruritus, iritasi dan kista.
3.2.6    Pengunaan  klinis obat antivirus
Tujuan utama terapi virus pada pasien imunocompeten adalah menurunkan tingkat keparahan penyakit dan komplikasinya, serta menurunkan kecepatan dengan infeksi virus kronik, tujuan terapi anti virus adalah mencegah kerusakan oleh virus ke organ fisaral, terutama hati, paru, saluran cerna dan sistem saraf pusat(ssp).Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam penggunaan antivrus antara lain :
a)      Lamanya terapi
b)      Pemberian terapi tunggal atau kombinasi
c)      Interaksi obat
d)     Kemungkinan terjadinya resistensi
Uraian di bawah ini merupakan ringkasan penggunaan anti virus dalam berbagai kondisi klinis

Herpes genetalia, 3 obat yg di gunakan untuk infeksi herpes, herpes genetalia adalah arsik lovir,  valisiklovir,dan  famsiklovir, asiklovir merupakan satu2nya obat yg terdapat dalam sedian intrafena . umumnya ,pilihan untuk pasien infeksi herpes primer dan semua pasiaen dengan  inveksi rekurel adalah trapi oral.
Herpes mukokutan. saat  ini asiklovir intravena diangap sebagai  standar pencegahan dan  trapi inveksi herpes simplks  yang  bersifat invasis  pada jaringan padapasien immunocompromised.  Studi klinis membuktikan bahwa asiklovir  dapat menekan reaktifasi  inveksi mukokutan oleh herpes  sipleks pada pasien  yang menerima transplantasi sumsum tulang.
Herpes neonatal, infeksi herpes neonatal merupakan kondisi yang sulit untuk diterapi. Terapi pilihan untuk kondisi ini adalah asiklovir intravena, namun mortalitas tetap tinggi kecuali pada bayi yang penyakitnya terbataspada kulit, mata, atau mulut.
Herpes ensefalitis, terapi pilihan untuk herpes ensefalitis adalah asiklofir intra vena adalah, yg lebih berguna jika di berikan pada pasien yg berada dalam keadaan koma. Sering kali di butuhkan terapi yang lebih panjang hingga 21 hari karena terdapat kemungkinan ke kambuhan.
Cacar air. Terapi dengan asiklofir di anjurkan dalam jangka waktu 24 jam setelah munculnya ruang. Terapi yang di berikan secara dini akan menurunkan keparahan hingga 25-30%. Terapi chickenpox. Juga di perlu pada dewasa penting diberikan karena tingkat keparahannya lebih tinggi jika di bandingkan anak-anak.
Herpes zoster. Alasan yang mendorong terapi herpes zoster dengan anti virus adalah untuk mencegah nyeri hebat yang tinggal-postherpetic neuralgia-yang merupakan komplikasi yang umum, terutama pada pasien yang umur lebih dari 50 tahun.
Infeksi saluran nafas oleh antivirus amantadin dan rimintadin menurunkan tingkat keparahan dan menurunkan keparahan influenza A jika diberikan pada pasien dewasa dalam jangka waktu 48 jam setelah tampah gejala awal penyakit. Tidak di ketahui apakah obat ini dapat mencegah komplikasi influenza. Kedua obat ini juga merupakan profilaksis yang efektif untuk influenza A.
Avian influenza
Zanamivir dan oseltamivir hingga saat ini merupakan satu satunya pilihan terapi atau profil laksis untuk infeksi virus H5N1. Namun belum lama ini terdapat laporan adanya isolat virus H5N1 yang resisten terhadap oseltamifir di vietnam. Dosis optimal dan lama terapi dengan neuraminidase inhibitor sampai saat ini belum diketahui secara pasti namun sedikitnya sama dengan regimen dosis yang telah di setujui.
Severe acute respiratory syndrome (SARS), sampai saat ini belum cukup data serta bukti untuk menajemen pasien sars. Pada pasien yang mungkin kemungkinan SARS, kebannyakan klinikus merupakan regimen standar anti bakteri untuk comunity-acuiered pneumonia,, dan beberapa menambahkan neuraminidase inhibitor untuk mengatasi influenza A dan B.
Antivirus untuk HBV DAN HCV kronis, memiliki resiko tinggi untuk terjadi sirosis atau bahkan karsinoma  hepatoselular terapi antivirus untuk mencegah pasien mengalami sirosis atau karsioma hepatoselular. Tujuan pemberian antivirus idealnya adalah eradikasi virus.  Namun, jika hal ini tidak di capai, maka di harapkan adanya sepresi virus yang harus terus menerus. Hingga saat ini hanya 3 virus yang telah disetujui untuk terapi infeksi kronik yaitu interveron, lamividin , dan adefofir.
HIV AIDS dalam beberapa tahun terakhir, penatalaksanaan klinis HIV-AIDS di negara maju berubah drastis dengan tersediaanya berbagi obat antiretrovirus.terapi HIV-AIDS dilakukan dengan cara mengkombinasikan beberapa obat untuk mengurangi viral load (jumlah virus dalam darah)agar menjadi sangat rendah atau di bawah tingkat yang dapat terdeteksi untuk jangka waktu yang lama.



BAB III
PENUTUP
A.        KESIMPULAN
Obat yang digunakan untuk tuberkulosis digolongkan menjadi dua kelompok yaitu kelompok obat lini –pertama dan obat lini-kedua. Kelompok obat lini pertama, yaitu isoniazid,rimfapisin, etambutol, streptomisin, dan pirazinamid. Antituberkulosis lini kedua adalah antibiotik golongan fluorokuinolon (siprofloksasin, ofokslasin, levofloksasin), sikloserin, etionamid, amikasin, kanamisin, kapreomisin, dan paraaminosalisila.
Obat untuk mengatasi penyakit lepra disebut Antilepra, yang termasuk golongan antilepra adalah sulfon, rimfapisin, klofiazimin, amitiozon, dan obat lainnya seperti (tiambutosin “Digunakan untuk pasien yang tidak tahan  terhadap efek samping dapson”, Talidomid “Untuk mengobati eritema nodosum leprosum”). Dalam masalah ini WHO menganjurkan penggunaan kombinasi 3 obat sekaligus yaitu dapson, rifampisin dan klofazimin.
Ada dua besar obat antivirus yaitu antinonretrovirus dan antiretrovirus. Golongan Antinonretrovirus, yaitu antivirus untuk herpes, antivirus untuk influensa, antivirus untuk HBV dan HCV. Antiretrovirus , yaitu NRTI, NtRTI, NNRTI, PI, dan Viral entry inhibitor.
B.        SARAN
Saran saya kepada si pembaca jangan lupa memperhatikan lima benar dalam pemberian obat yaitu pasien yang benar,  Obat yang benar, Dosis yang benar,  Cara / rute pemberian yang benar,  Waktu pemberian yang benar, agar Efek terapi yang diinginkan mendapati kemungkinan terjadinya dibandingkan efek toksiknya. Itulah saran dari saya, kiranya dengan apa yang kami tulis dan sampaikan ini bisa bermanfaat sebagaimana kebaikkannya.




DAFTAR PUSTAKA
American medical association. Drug Evaluations Annual 1995. P. 1689.
Chambers HF. Antimycobacterial drug. In: Katzung BG, ed. Basic & clinical pharmacology. 9th ed. Singapore: McGraw-Hill; 2004. P. 782-791.
Document WHO/CDS/TB/2000, 279.
Petri WA. Jr. Chemotherapy of tuberculosis, Mycobacterium avium complex disease, and leprosy. In: Brunton LL, Lazo JS, Parker KL, eds. Goodman & Gilman’s the pharmacological Basis of Therapeutics. 11th ed. New York: MCGraw-Hill; 2006. P. 1203-23.
WHO/CDC/TB/2003,313. Treatment of tuberculosis: guidelines for national programmes, 3rd edition. Revision approved by STAG,June 2004.






2 komentar:

  1. I have been on blog Sites for a while now and today I felt like I should share my story because I was a victim too. I had HIV for 6 years and I never thought I would ever get a cure I had and this made it impossible for me to get married to the man I was supposed to get married to even after 2 years of relationship he broke up with me when he found out I was HIV positive. So I got to know about Dr. Itua on Blog Site who treated someone and the person shared a story of how she got cured and let her contact details, I contacted Dr. Itua and he actually confirmed it and I decided to give a try too and use his herbal medicine that was how my burden ended completely. My son will be 2 soon and I am grateful to God and thankful to his medicine too.Dr Itua Can As Well Cure The Following Disease…Alzheimer’s disease,Bechet’s disease,Crohn’s disease,Parkinson's disease,Schizophrenia,Lung Cancer,Breast Cancer,Colo-Rectal Cancer,Blood Cancer,Prostate Cancer,siva.Fatal Familial Insomnia Factor V Leiden Mutation ,Epilepsy Dupuytren's disease,Desmoplastic small-round-cell tumor Diabetes ,Coeliac disease,Creutzfeldt–Jakob disease,Cerebral Amyloid Angiopathy, Ataxia,Arthritis,Amyotrophic Lateral Scoliosis,Fibromyalgia,Fluoroquinolone Toxicity
    Syndrome Fibrodysplasia Ossificans ProgresSclerosis,Seizures,Alzheimer's disease,Adrenocortical carcinoma.Asthma,Allergic diseases.Hiv_ Aids,Herpe ,Copd,Glaucoma., Cataracts,Macular degeneration,Cardiovascular disease,Lung disease.Enlarged prostate,Osteoporosis.Alzheimer's disease,
    Dementia.Lupus.
    ,Cushing’s disease,Heart failure,Multiple Sclerosis,Hypertension,Colo_Rectal Cancer,Lyme Disease,Blood Cancer,Brain Cancer,Breast Cancer,Lung Cancer,Kidney Cancer, HIV, Herpes,Hepatitis B, Liver Inflammatory,Diabetes,Fibroid, Get Your Ex Back, If you have (A just reach him on drituaherbalcenter@gmail.com Or Whatsapp Number.+2348149277967)He can also advise you on how to handle some marital's issues. He's a good man. 

    BalasHapus
  2. Jackpot city online casino site - LuckyClub
    Lucky club casino site is a safe and secure site, as well as reliable and secure 카지노사이트luckclub as a safe place to play. Sign up at the site today to get your bonus!

    BalasHapus